Langsung ke konten utama

Ulasan Cerpen "Emak" karya Masriadi Sambo


Emak, dibalik Konflik Aceh yang tak Kunjung Usai

Po Cut adalah gadis asli asal Nanggroe Aceh Darussalam. Dia adalah seorang wartawan daerah yang pekerjaannya harus mululu meliput konflik di daerah Aceh, padahal dia sendiri sudah bosan dan jenuh harus meliput tindak kekerasan atau konflik karena dia ditempatkan di desk kriminal.
Cerpen karya Masriadi Sambo, seorang jurnalis asal Aceh ini syarat dan kental akan nuansa kedaerahan Aceh juga konflik yang terjadi pada masa itu. Kental akan kedaerahan karena menurut saya penulis menyelipkan beberapa istilah dan kata bahasa daerah, dalam hal ini bahasa Aceh, seperti “Asam Keueng, Buah Pilek, E' , Tambo Meunasah, Ken Kaleuh Loh Peingat”. Kata ini membuat pembaca cerpen ini seakan masuk dalam dunia Aceh. Cerpen terdiri dari 3 tokoh utama, yakni Po Cut, Marzuki (Kakak dari Po Cut), dan Emak (Ibu Pocut dan Marzuki). Pada tokoh – tokoh inipun terselip beberapa pemikiran, apabila Po Cut berpendapat bahwa seorang perempuan itu harus berpikiran ke depan dan tidak harus melulu mengerjakan hal – hal ringan, ini dibuktikan pada dirinya yang tetap teguh pendirian ketika mengikuti tes masuk menjadi wartawan media. Menjadi wartawan yang kerja di lapangan  harustidak  selalu laki – laki , tetapi perempuan pun mampu untuk melakukannya.
Selain itu, pemikiran kolot ditunjukan oleh tokoh Marzuki. Ya, dia masih berpikiran kolot, kalau perempuan itu lebih baik bekerja di kantoran saja atau mengerjakan hal – hal ringan, atau mungkin lebih baik mengerjakan pekerjaan rumah tangga saja, seperti mencuci, memasak, dan lain – lain.
Masriadi Sambo juga membumbui cerpennya ini dengan Konflik yang terjadi di Aceh pada waktu itu. Ini terlihat ketika Po Cut sering sekali meliput peristiwa konflik baku hantam, perang peluru antara aparat TNI dan para pemberontak (versi pemerinta). Meskipun tidak secara gamblang konflik apa sebenarnya yang terjadi pada cerpen ini. Konflik bersenjata ini pun dibuat menjadi hal utama penyebab “konflik” yang terjadi pada cerpen ini. Yaitu ketika di akhir cerita, gara – gara para pemberontak kabur dari aparat TNI dan mereka masih membabi buta, akhirnya Emak yang sedang mengambil air wudhu untuk sembahyang tahajud terkena timah panas di  badannya hingga meninggal dunia.
Cerpen ini seakan berpesan pada pembaca, bahwa tidak akan pernah terjadi suatu kedamaian, keamanan, dan kemakmuran apabila negeri ini masih saja terus dihinggapi oknum – oknum pemberontak yang angkuh hingga menimbulkan konflik bersenjata, yang pastinya akan selalu ada korban jiwa. Selain itu, cerpen ini juga sedikit menyentil pemerintahan pada saat itu, yang kurang adil dalam hal pemerataan hasil migas, padahal apabila pemerintah bisa menegakkan keadilan, pasti negeri ini akan jauh dari konflik dan kemiskinan. Begitulah kata Masriadi Sambo dalam cerpen “Emak” ini.
Namun, tatkala ada suatu kelebihan maka pasti ada kekurangan. Dalam cerpen ini saya menemukan satu kekurangan. Saya yang memposisikan diri sebagai pembaca, ada satu hal yang menjadi kekurangan dalam cerpen ini. Yakni, tidak ditunjukannya pada awal cerpen bahwa “Po Cut” itu adalah seorang perempuan. Saya baru tersadar ketika pertengahan cerita saat penulis memberitahukannya secara tersurat atau langsung. Mungkin ini juga kekurangan dari saya sebagai pembaca, yang kurang akan wawasan tentang nama – nama di daerah Aceh. Hehe.
Dari judul cerpennya saja kita bisa sudah menebak  bahwa tokoh Emak di dalamnya pasti akan sangat berpengaruh. Dan terbukti, tokoh Emak menjadi sangat utama karena dia yang menjadi korban konflik bersenjata ini. Ini juga salah satu kelemahan cerpen ini, ketika saya membaca hampir ¾ cerita, saya sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan benar saja tebakan saya itu. Cerpen ini masih menggunakan bagian akhir cerita yang lumayan klise dan mudah ditebak. Tetapi  secara keseluruhan saya menyukai cerpen ini, karena mengangkat isu daerah (konflik daerah) yang mungkin jarang ditemukan pada karya sastra lainnya. Juga saya menyukai ada sedikit gaya feminisme dalam cerpen ini walaupun tidak banyak.

yang lainnya

Ulasan Novel "Max Havelaar" karya Multatuli