Langsung ke konten utama

Ulasan Novel "Max Havelaar" karya Multatuli


Hasil gambar untuk buku max havelaar

Sisi Lain dari Kolonialisme Hindia-Belanda di Nusantara

Apa yang khalayak pikirkan ketika mendengar nama Multatuli atau Eduard Douwes Dekker ? tentunya ada sebagian khalayak yang telah mengetahui pun belum mengetahui sama sekali tentang Multatuli. Multatuli merupakan nama pena atau nama samaran dari Eduard Douwes Dekker. Dia adalah Dewan Pengawas Keuangan Pemerintahan Belanda yang pertama kali ditempatkan di wilayah Sumatra Barat. Multatuli adalah salah satu dari orang pihak kolonial yang justru sangat menentang model pemerintahan kolonial. Ketidakadilan, perampasan, serta penjajahan merupakan titik awal kritik dan penolakannya.
Multatuli berhasil melahirkan sebuah mahakarya yang berjudul “Max Havelaar”. Salah satu buku yang sangat penting bagi awal pergerakan kaum intelek di Nusantara. Melalui buku ini, Multatuli berhasil membuka mata dunia tentang busuknya Kolonialisme Hindia-Belanda dan memberi ilham bagi bangsa Indonesia untuk merdeka. Sejak pertama saya membaca hingga menamatkan novel ini, saya merasa bahwa ini adalah salah satu buku yang harus anda baca untuk menyelami awal sejarah bangsa Indonesia.
Tentunya perdebatan pro dan kontra muncul seiring lahirnya novel ini ke permukaan. Banyak yang berpendapat bahwa gaya kepenulisan Eduard sangatlah jelek, mereka berpendapat pula bahwa buku ini tidak bisa disebut sebagai novel karena tidak memenuhi nilai sastra. Namun ada pula yang sangat kagum dan mendukung lahirnya buku ini. Tidak sedikit pula yang menebak bahwa buku “Max Havelaar” merupakan sebuah autobiografi dari Eduard Douwes Dekker sendiri.
Novel “Max Havelaar” ini menceritakan perjuangan seorang Asisten Residen di Lebak, Banten yang berusaha melawan sistem penjajahan kolonial, juga kekejaman dari Regen (pemimpin pribumi) yang justru banyak menyengsarakan rakyat. Max Havelaar merupakan tokoh yang mempunyai integritas terhadap tugasnya, dan mempunyai rasa empati yang kuat terhadap rakyat pribumi. Bahkan kehidupan Max sendiri bisa dikatakan tidak bergelimang harta. Dalam hal ini, saya mengetahui bahwa pada zaman dulu pun, seorang Belanda telah mempunyai rasa empati dan simpati yang sangat kuat terhadap pribumi.
Selain menentang sistem penjajahan kolonial Belanda terhadap pribumi, Max juga sangat menolak akan kungkungan sistem feodalisme pribumi yang menyengsarakan rakyat. Max dalam setiap tugasnya menjadi Asisten Residen selalu berusaha untuk melaporkan tindak penindasan yang dilakukan oleh Regen Lebak kepada pemerintahan Hindia Belanda. Namun, segala upaya dan usaha yang dilakukan oleh Max selalu menemui jalan buntu. Salah satu perlakuan Regen Lebak yang semena-mena terhadap rakyat pribumi ialah saat Regen memaksa rakyat untuk mencabuti rumput liar di halaman istana rumahnya tanpa diberi upah sama sekali.
Bagi saya sendiri membaca buku “Max Havelaar” ini merupakan pengalaman bergelut dengan buku yang cukup berat juga menguras pikiran. Dikatakan berat karena tata bahasa dan kalimat yang pada awalnya cukup susah untuk dipahami, mungkin karena merupakan karya terjemahan juga.  Pun dikatakan cukup menguras pikiran karena dari sisi cerita yang dibangun tidak disusun secara kronologis, dan tidak adanya pembatas yang jelas antara kisah dengan sudut pandang dari Drogstopell Batavus dengan sudut pandang dari Max Havellar sendiri.
Kisah dalam novel ini berawal dari kehidupan seorang makelar kopi bernama Drogstopell Batavus. Beliau merupakan seorang yang taat akan agama. Drogstopell merupakan seseorang yang perfeksionis dan sangat tidak menyukai buku yang berbau fiksi atau novel. Hingga pada satu waktu ia bertemu dengan seseorang yang mengaku sebagai teman lamanya, yang tidak lain ialah Max Havelaar. Pada awal kisah ini, diceritakan bahwa Max meminta bantuan terhadap Drogstopell untuk membantunya menerbitkan naskah-naskah yang telah ia tulis selama berada di Nusantara.
Saya telah mengatakan bahwa kehidupan dari Max sendiri tidak bergelimang harta seperti yang saya pikirkan sebelumnya. Seperti yang dijelaskan sendiri dalam buku ini,

“...Jika Orang Eropa tinggal dalam sebuah rumah, maka kediaman Regen seringkali adalah sebuah keraton, dengan banyak rumah dan vila di dalamnya. Jika Orang Eropa memiliki satu istri serta tiga atau empat anak, Regen memelihara wanita, dengan segala hal yang mengindikasikan itu. Jika orang Eropa berkuda dan diikuti oleh beberapa petugas, jumlahnya tidak lebih dari yang dibutuhkan pada giliran menginspeksi untuk memperoleh informasi di jalan, Regen pergi dengan ribuan barang bawaan dalam rombongan yang, di mata para pengikutnya, tidak dapat dipisahkan dengan derajatnya yang tinggi...” (Havelaar, (1860)  2015 : 79)

Seperti itulah kira-kira keadaan atau gaya hidup dari para pemimpin pribumi pada masa itu yang ternyata kehidupannya lebih bergelimang kemewahan dibanding dengan pejabat Belanda yang berada dibawahnnya. Feodalisme memang menjadi pisau tajam yang mengiris kehidupan masyarakat pribumi pada masa itu selain dari sistem tanam paksa yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Bagi saya hal ini sangat ironi dan miris, sejatinya seorang pemimpin seharusnya menjadi garda terdepan yang membela rakyatnya sendiri, bukannya malah menambah beban bagi rakyatnya.
Kutipan yang saya cantumkan di atas hanya salah satu dari sekian banyak kebobrokan sistem kolonialisme juga feodalisme yang mengurung kehidupan masyarakat Nusantara. Menurut saya, isi dari cerita dari buku ini tentunya dapat menginspirasi khalayak, khususnya bagi anda yang ingin mengatahui lebih banyak sejarah Nusantara. Lagi-lagi bolehlah saya berpendapat kalau novel ini sangat layak dan harus dibaca oleh khalayak karena substansi dan isi ceritanya bagaikan harta karun yang telah tersimpan begitu lama. Beruntungnya walaupun karya sastra ini telah berusia lebih dari 1 abad, namun novel ini masih hidup sampai sekarang.
Adapun beberapa kisah kecil yang diselipkan dalam novel ini menjadi pemanis disamping dengan kekayaan cerita dari Max Havelaar. Kisah-kisah kecil seperti “Pemahat Batu dari Jepang” juga kisah roman tragis “Saijah dan Adinda” cukup membuat saya tak dapat berkata-kata. Keindahan juga pesan yang terselip dalam kisah ini bagai menampar saya untuk lebih lagi memperbaiki kualitas diri sendiri.
Dalam kisah “Pemahat Batu dari Jepang” misalnya, dikisahkan ada pemuda pemahat batu yang mengeluh karena kerja kerasnya hanya untuk upah yang sedikit. Kemudian ia menjerit dan ingin menjadi kaya, maka jadilah ia menjadi orang kaya. Setelah menjadi kaya, ia kembali mengeluh ingin menjadi raja, maka jadilah ia raja. Kemudian seterusnya hingga ia mengeluh ingin menjadi apa yang ia inginkan. Dari mulai raja, menjadi matahari-awan-batu- kemudian kembali menjadi seorang yang memahat batu.
Mengesankan, bagi saya kisah “Pemahat Batu dari Jepang” ini sangat indah serta memberi pengajaran yang berharga pula. Kisah ini memberitahu kita bahwa untuk menjadi manusia berkualitas itu mudah, hanya tingal menekuni dengan sungguh-sungguh apa yang menjadi passion kita. Selain itu, adapula kisah cinta dari sepasang kekasih “Saijah dan Adinda”. Kisah ini menceritakan tentang wujud cinta dari Saijah dan Adinda yang telah mereka rajut sedari kecil. Saijah yang mencoba mengadu nasib ke kota, terpaksa harus meninggalkan Adinda di Lebak dengan harapan mereka pada suatu saat akan hidup bersama. Namun takdir berkata lain, Adinda yang setia menunggu Saijah harus pergi ke luar pulau untuk kabur dari kejaran penjajah Belanda. Saijah yang menyusul Adinda ke luar pulau, akhirnya harus melihat Adinda meninggal karena tertembak oleh Kompeni. Akhir cerita ditutup oleh Saijah yang memberanikan diri maju melawan rombongan tentara Kompeni.
Kisah yang sangat romantis tetapi juga tragis dari dua sejoli bernama Saijah dan Adinda. Sebetulnya bukan masalah apakah kisah ini fakta atau fiktif, tetapi lebih kepada bahwa kisah cinta ini hanya satu dari sekian banyak kisah cinta yang berakhir tragis karena kekejaman kaum penjajah. Kisah ini pula yang mengilhami saya melahirkan sebuah karya puisi yang berjudul sama seperti kisah aslinya. Saya merasa tertantang untuk membuat puisi ini supaya khalayak pembaca juga orang-orang di sekitar saya tahu akan keromantisan dan ketragisan dari kisah “Saijah dan Adinda". Lebih lanjut pula saya bersama beberapa kolega yang tergabung dalam komunitas Pojok Seni membuat sebuah proyek bernama “Di mana Puisi” dan saya dengan lantang untuk memasukkan puisi ini dalam konten tersebut (bisa khalayak cek di kanal YoutubePojok Seni).
Mungkin seperti itulah yang dapat saya tulis mengenai ulasan “Max Havelaar” karya Multatuli ini. Kiranya saya sangat mengharapkan kritik juga saran dari khalayak untuk tulisan saya ini, walaupun ulasan ini masih bergaya impresionistik, namun bagi pemula seperti saya akan sangat berharga kritik dan sarannya. Cukup menguras pikiran untuk saya dalam memahami isi dan cerita novel ini, namun tentunya mengasyikan pula dapat terjun menembus ruang dan waktu serta melihat peristiwa yang terjadi pada masa itu di Nusantara. Kalaulah saya boleh berpendapat kembali, bahwa buku ini adalah salah satu buku yang harus khalayak baca sebelum meninggal. Rugi rasanya kita sebagai bangsa Indonesia tidak mengetahui sejarah bangsanya sendiri. Sekali lagi, buku ini adalah buku pertama yang membuka mata dunia dan mata saya dalam memandang Kolonialisme Hindia-Belanda dari sudut pandang yang berbeda.



Bahan bacaan

Judul buku      : Max Havelaar
Penulis             : Multatuli
Alih bahasa     : Andi Tenri W
Penerbit           : Penerbit Narasi
Tahun terbit     : 2015
Cetakan           : ke-3