Langsung ke konten utama

Emansipasi dalam “Layar Terkembang” pada masa Pujangga Baru


Oleh : Rudiana Sapta Prayoga


Periode kesusastraan Indonesia setelah masa Balai Pustaka ialah ditandai dengan lahirnya sebuah majalah baru, Pujangga Baru. Pada periode Pujangga Baru ini terdapat ciri khas yang   menanggalkan gaya bahasa, dan tema karya sastranya pada masa Balai Pustaka. Pada masa Pujangga Baru ini gaya bahasa yang digunakannya cenderung membebaskan diri dari belenggu bahasa belanda dan melayu yang petatah – petitih. Awal kelahiran majalah Pujangga Baru ini ditandai dengan kebutuhan masyarakat terhadap kesusastraan pada perlunya majalah sastra yang bebas. Tidak terikat lagi pada aturan Balai Pustaka milik pemerintah Kolonial Belanda. Menurut A. Teeuw yang mengemukakan awal lahirnya majalah Pudjangga Baru,

“Pada bulan Maret 1932, langkah bebas pertama diambil. Sanusi Panelah yang memulakan sebuah majalah, sebagai pasangan majalah Timboel yang memang telah dipimpinnya dalam bahasa Belanda itu. Antara penyumbang pada majalah ini pada permulaannya kita dapati penyair Amir Hamzah yang di dalam majalah itu menerbitkan pengolahan suatu cerita tentang pahlawan Melayu Hang Tuah yang amat menarik, dalam bentuk puisi modern yang seakan – akan balada sifatnya. Majalah Timboel yang berbahasa Indonesia itu tidak panjang umurnya. Akan tetapi, kira – kira setahun kemudian, yaitu pada bulan Juli 1933, terbitlah keluaran pertama sebuah majalah baru, Pudjangga Baru. Orang - orang yang penting dalam menerbitkan majalah ini dan yang juga menjadi redaktur pertamanya ialah Sutan Takdir Alisjahbana dan Arjmin Pane.” (A. Teeuw, 1980:50)

Pada penjelasan di atas yang dikemukakan oleh A. Teeuw dapat ditarik kesimpulan bahwa majalah Pujangga Baru lahir karena adanya kesadaran dari masyarakat khususnya ahli sastra akan butuhnya sebuah majalah sastra yang bebas dan tidak terikat dari aturan – aturan Balai Pustaka. Disebutkan pula beberapa tokoh berpengaruh dalam Pujangga Baru seperti Sanusi Pane, Arjmin Pane, dan Sutan Takdir Alisjahbana. Salah satu tokoh yang berpengaruh dalam angkatan Pujangga Baru ialah Sutan Takfir Alisjahbana, melalui karyanya “Layar Terkembang” yang mengandung pemikiran – pemikiran yang bebas dari adat istiadat seperti sebelumnya banyak digunakan pada angkatan Balai Pustaka. Namun, Sutan Takdir Alisjahbana melalui karyanya ini berusaha mengungkap sebuah pemikiran bahwa wanita pun mempunyai hak yang sama dengan laki – laki atau lebih dikenal dengan emansipasi.

Pada angkatan Pujangga Baru sudah tidak banyak lagi bertemakan adat istiadat atau pertentangan adat melainkan sudah mengangkat persoalan sosial seperti dalam roman “Layar Terkembang” karya Sutan Takdir Alisjahbana yang mengangkat masalah emansipasi wanita, dengan pemikiran yang menganut budaya barat. S.T. Alisayahbana melalui Tokoh Tuti menyampaikan pendapat-pendapat dan pandangan tentang peranan wanita dan kaum muda dalam membangun bangsa, tokoh Tuti yang berpakaian kain panjang dan kebaya tetapi berfikir barat mencerminkan akan dirinya dimana ia menganut budaya barat akan tetapi tidak meninggalkan budayanya, dan menginginkan pembaharuan ke arah kemajuan bangsa dan negaranya, terutama dalam dunia wanita.

Dalam novel ini, diceritakan tentang kaum wanita yang mulai bangkit untuk memperjuangkan hak-haknya yang mempunyai wawasan luas dan bercita-cita tinggi. Hal tersebut sesuai dengan zaman pembuatan novel ini yang kala itu gelora Sumpah Pemuda masih bergema. Baik kaum pria maupun wanita aktif dalam berbagai organisasi kepemudaan. Ada beberapa bentuk emansipasi yang digambarkan oleh Sutan Takdir Alisyahbana dalam novelnya, diantaranya aktivitas perempuan dalam sebuah organisasi atau perkumpulan, keterlibatan perempuan dalam dunia kerja, menuntut persamaan hak-hak perempuan dengan laki-laki sebagaimana mestinya, dan lain-lain. Hal-hal inilah yang diperjuangkan oleh Tuti sebagai pelopor emansipasi wanita pada masanya.

Kaum perempuan dalam novel “Layar Terkembang” sangat berpedoman dan bercermin pada kegigihan sosok Tuti. Pidato-pidato yang disampaikan oleh Tuti selalu mendapat sambutan hangat dari pendengarnya. Pidato-pidato yang disampaikan oleh Tuti pada forum-forum atau rapat maupun kongres tidak jarang membakar semangat kaum perempuan untuk berjuang menuntut haknya sebagai manusia. Pada setiap kesempatan menyampaikan pidato, Tuti selalu menyinggung persoalan perempuan. Pidato Tuti terkenal berapi – api dan mampu menyulut api semangat peserta kongres yang hadir, seperti kutipan pidato Tuti berikut yang diceritakan dalam novel ini,

“Saudara-saudara, dalam tiap-tiap usaha hanyalah kita mungkin mendapat hasil yang baik, apabila terang kepada kita, apa yang hendak kita kerjakan, apa yang hendak kita kejar dan kita capai. Atau dengan perkataan yang lain: dalam segala hal hendaklah kita mempunyai gambaran yang senyata-nyatanya tentang apa yang kita cita-citakan. Demikianlah menetapkan bagaimana harus sikap perempuan baru dalam masyarakat yang akan datang berarti juga menetapkan pedoman yang harus diturut waktu mendidik kanak-kanak perempuan waktu sekarang. Untuk sejelas-jelasnya melukiskan perempuan baru seperti dicita-citakan Putri Sedar, bagaimana sikapnya dan bagaimana kedudukannya dalam segala cabang masyarakat haruslah kita lebih dahulu menggambarkan seterang-terangnya sikap dan kedudukan perempuan bangsa kita di masa yang silam." (Layar Terkembang, 2002:53)

Pada kutipan pidato Tuti dalam novel “Layar Terkembang” di atas terlihat jelas bahwa Tuti digambarkan sebagai tokoh pelopor emansipasi dalam novel ini. Dalam pidato Tuti tersebut disebutkan bahwa perempuan haruslah mempunyai sikap baru dalam masyarakat yang akan datang, artinya perempuan haruslah terbebas dari belenggu pemikiran adat yang seringkali menganggap perempuan itu lemah. Tuti juga menyebutkan bahwa perempuan harus mempunyai pedoman untuk mendidik anak – anak perempuan mereka dengan didikan yang baru supaya menjadi perempuan penerus bangsa sebagaimana dicita – citakan Putri Sedar.

Novel “Layar Terkembang” mempunyai daya tarik tersendiri karena menampilkan permasalahan perempuan yang berkaitan dengan pandangan masyarakat pada tahun 1920-an yang secara tidak langsung merugikan kaum perempuan. Padangan tersebut berasal dari paham masyarakat yang menganggap kekuasaan sepenuhnya berada di tangan laki-laki. Topik mengenai perempuan, terutama yang membahas masalah gender beserta bias-biasnya adalah hal yang tetap menarik untuk dibicarakan sampai saat ini. 
Kalangan perempuan yang telah mengenyam pendidikan modern merasa perlu dan berhak untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialaminya. Sedangkan adat dan tradisi yang telah mengakar menganggap pemikiran ini bisa menghancurkan tatanan yang selama ini telah dinilai berjalan baik. Novel “Layar Terkembang" ditulis di era 1920-an ketika arus pemikiran tidak progresif seperti masa kini, mampu mengungkap tema tersebut hingga menjadi sebuah pendekatan di antara kalangan sastrawan sendiri.
Pandangan Sutan Takdir Alisyahbana yang meletakkan perempuan mampu tampil di sektor publik dan tidak hanya bekerja di lingkungan rumah tangga saja. Pandangan tersebut sangat bertentangan dengan konvensi masyarakat yang menempatkan posisi perempuan sebagai orang yang lemah dan tidak pantas menempati posisi sosial di atas laki-laki. Berikut ini akan disajikan beberapa kutipan penggalan novel “Layar Terkembang” karya Sutan Takdir Alisyahbana yang mengindikasikan adanya bentuk emansipasi wanita yang diungkapkan oleh pengarang dalam karyanya.

“Tuti tak banyak katanya, seolah-olah ada sesuatu yang sulit yang sedang dipikirkannya. Sesungguhnya dalam beberapa hari yang akhir ini ia asyik memikirkan bermacam-macam soal, kepalanya dipenuhi oleh Kongres Putri Sedar yang dua minggu lagi akan diadakan di Jakarta. Sebagai salah seorang pemimpin perkumpulan itu yang terkemuka, lain daripada pengurus kongres itu kepadanya terserah pula mengadakan sebuah pidato. Telah berhari-hari ia tiada pernah diam. Kalau tiada berjalan untuk mengunjungi orang-orang yang lain yang harus mengurus kongres itu, ia asyik membaca dan menulis di rumah untuk menyiapkan pidatonya. Beberapa buah buku telah dibacanya dan sebagian besar dari pidatonya selesai. Ia yakin benar-benar, bahwa keadaan perempuan bangsanya amat buruk. Dalam segala hal makhluk yang tiada mempunyai kehendak dan keyakinan, manusia yang terikat oleh beratus-ratus ikatan, manusia yang hanya harus menurut kehendak kaum laki-laki”. (Layar Terkembang, 2002:8)

Sosok emansipasi wanita tergambar juga pada diri Maria. Maria ingin menjadi guru dan mendidikan anak-anak bangsa sebagai generasi pelanjut. Pilihan Maria ini menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya tinggal di rumah mengurus urusan rumah tangga, tetapi juga dapat berkarya dan berkiprah di dunia kerja. Maria ingin menjadi bagian dari perjalanan bangsa dengan mempersiapkan anak-anak bangsa yang cerdas dan pintar.

“Sesungguhnyalah hanya kalau perempuan dikembalikan derajatnya sebagai manusia, barulah keadaan bangsa kita dapat berubah. Jadi, perubahan kedudukan perempuan dalam masyarakat itu bukanlah semata-mata kepentingan perempuan. Kaum laki-laki yang insaf akan kepentingan yang lebih mulia dari kepentingan hatinya yang loba sendiri tentu akan harus mengakui itu.
(Layar Terkembang, 2002:34-40)

Kutipan penggalan novel di atas menggambarkan tekad Tuti yang merupakan representasi semangat perempuan yang ingin menuntut emansipasi. Kaum perempuan menginginkan kesetaraan gender dalam pergaulan di masyarakat. Dalam pidatonya, Tuti menguraikan kondisi perempuan yang tertindas dan selalu berada di bawah perintah kaum laki-laki. Perempuan seakan tidak boleh bersuara dan berkehendak. Namun, Tuti berusaha mengajak kaum perempuan untuk bangkit dan mengejar hak-haknya sebagai manusia yang tiada berbeda dengan kaum laki-laki. Bahkan Tuti beranggapan bahwa bangsa ini hanya akan berubah jika derajat kaum perempuan dikembalikan sebagaimana mestinya.

Bahan Pustaka
Alisjahbana, Sutan Takdir. 2009. Layar Terkembang. Jakarta: Balai Pustaka.
Teeuw, A. 1980. SASTRA INDONESIA BARU 1. Ende Flores: Nusa Indah.

yang lainnya

Ulasan Novel "Max Havelaar" karya Multatuli