Langsung ke konten utama

Ulasan Novel "Atheis" karya Achdiat K. Mihardja

            Achdiat Karta Mihardja lahir di Cibatu, Garut, 6 Maret 1911 dan meninggal di Canberra, Australia, 8 Juli 2010 pada umur 99 tahun. Pendidikannya Ia lalui di AMS (Algemene Middelbare School) bagian A1 (Sastra dan Kebudayaan Timur) di Solo pada 1932 kemudian di Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia (1948-1950). Ia juga mempelajari ajaran mistik (tarekat) aliran Qadariyah Naqsabandiyah dari Kiyai Abdullah Mubarak yang terkenal juga dengan nama Ajengan Gedebag.
          Novel roman “Atheis” karya Achdiat Karta Mihardja menjadi salah satu novel berpengaruh dalam kesusastraan Indonesia. Dianggap novel berpengaruh karena selain merupakan novel roman pertama setelah masa perang yang benar – benar menarik juga karena keberanian pengarangnya mengangkat tema – tema yang dianggap sensitif, seperti sistem kepercayaan dan agama, bahkan juga keyakinan tentang eksistensi Tuhan. Roman “Atheis” ini pun seperti membuka jalan bagi sastrawan berikutnya untuk mengangkat tema kepercayaan dan agama.
            Kisah dalam novel ini menceritakan seorang pemuda Sunda, Hasan, asal Garut yang datang dari keluarga Islam yang taat. Ayahnya seorang penganut suatu tarekat Islam, dan meskipun Hasan telah menimba ilmu di Mulo (Sekolah Lanjutan Pertama) Belanda, namun Hasan masih memegang teguh kepercayaan islam yang taat. Setelah ia gagal dalam percintaan, dia mengambil sikap untuk ikut mempelajari dan menganut paham tarekat seperti ayahnya. Kemudian setelah lulus sekolah dia bekerja di sebuah kantor di Bandung, dan di sana secara kebetulan Hasan bertemu dengan teman lamanya yakni Rusli, juga dikenalkan dengan adiknya Rusli yaitu, Kartini. Kemudian Hasan menjadi akrab dengan Rusli, seorang pemuda yang menganut paham Marxis dan juga seorang Atheis. Pada awalnya Hasan menganggap kalau ajaran Rusli itu salah, tetapi lama – lama Hasan pun terbawa oleh pahamnya Rusli dan menjadi seorang Atheis. Akhirnya setelah semakin akrab, Hasan menikah dengan Kartini, namun perkawinannya tidak harmonis.
            Dalam novel ini dijelaskan sekali tentang perdebatan antara dua ideologi atau pemikiran, yakni antara paham atheis pada tokoh Rusli dengan paham percaya pada Tuhan atau beragama pada tokoh Hasan. Menurut saya, Achdiat melalui novelnya ini ingin mencoba menunjukan bahwa cara hidup menjadi seorang atheis itu tidak ridhoi oleh Allah SWT. Karena bisa kita ketahui yang apa dialami oleh Hasan pada bagian akhir cerita, yakni kehidupannya menjadi tidak lancar dan banyak cobaan juga kematiannya yang terbilang tragis. Cara penulisan novel ini cukup menarik, yakni Achdiat mencoba memberi suatu bumbu baru, sudut pandang baru di bagian awal cerita dan pembaca dibawa ke dalam kehidupan tokoh pertama pada awal cerita untuk melihat sosok Hasan. Pembaca juga seperti dibawa ke dalam kilas balik kehidupan Hasan yang ditulisnya sendiri.
            Selain sudut pandang baru, dalam gaya bahasa yang digunakan oleh Achdiat pun berbeda dengan novel – novel sebelumnya terbitan Balai Pustaka. Bahasa yang digunakan dalam novel – novel Balai Pustaka boleh dikatakan seragam dengan menggunakan standar yang telah ditetapkan Balai Pustaka. Tetapi setelah zaman perang, Achdiat menggunakan bahasa Indonesia dengan ciri khasnya sendiri. Ini juga yang dilakukan oleh Balai Pustaka setelah perang yakni lebih mengedepankan ciri khas bahasa yang digunakan oleh tiap – tiap penulis. Dalam hal ini, Achdiat menampilkan bahasa Indonesia yang dipengaruhi bahasa Sunda.
            Menurut A. Teeuw (Sejarah Indonesia Baru 1, 1978;275) “Pada setiap halaman buku jelaslah bahwa pengarangnya seorang Sunda. Hal ini dapat dilihat pada dan bentuk kalimat yang dipinjam dari bahasa Sunda dan pada penyimpangan – penyimpangan dari norma – norma sintaksis bahasa Melayu. Nyatalah juga bahwa pengarang ini tidak menguasai bahasa Indonesia dengan kelancaran yang sama dengan penulis yang lebih muda daripadanya pada zaman sesudah perang, yaitu penulis – penulis yang dibesarkan dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa revolusi.” Yang menurutnya bahwa Achdiat sedikit gagal dalam hal gaya bahasa yang dipakai dalam novel “Atheis” ini.
            Namun pendapat A.Teeuw ini ditentang oleh Maman S. Mahayana (33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, 2014;155) “Bagi saya, pernyataan itu menunjukan, bahwa A.Teeuw menutup mata pada perkembangan dan perubahan sosial politik yang terjadi pada novel Atheis terbit. Teeuw lalai, bahwa Indonesia sudah merdeka ketika novel Atheis itu terbit, dan penerbitnya, Balai Pustaka, tidak lagi dalam genggaman kebijaksanaan politik colonial.” Menurut kedua pendapat tersebut mengenai novel Atheis ini, saya lebih setuju terhadap pendapatnya Maman, karena memang benar pada saat novel ini terbit Balai Pustaka lebih menonjolkan ciri khas bahasa yang dibawa oleh masing – masing penulis yang berbeda.
            Novel Atheis  dapat dikatakan sebagai buah pemikiran Achdiat terhadap situasi yang dialaminya dalam kehidupannya. Yang dapat saya pahami melalui novel ini ada beberapa pemahaman pada setiap tokohnya. Tokoh Rusli dan Anwar merupakan seorang Atheis namun keduanya berbeda wataknya, Rusli yang digambarkan cerdas, terpelajar, juga sangat dihormati oleh kawan – kawannya. Berbeda dengan Anwar yang cenderung anarkis, blak – blakkan, juga kerap tidak konsisten antara ucapan dan perbuatan. Namun baik Rusli maupun Anwar memegang teguh ideologi yang dianutnya sebagai jalan hidup. Sangat terlihat berbeda dengan apa yang digambarkan tokoh Hasan yang awalnya sangat memegang teguh iman islamnya, tetapi hingga akhirnya Hasan terbawa oleh pergaulan dan menjadi seorang Atheis yang setengah – setengah. Dikatakan seperti itu, karena dapat kita lihat ketika Hasan yang telah menjadi atheis tergoncang pikirannya setelah berdebat dengan ayahnya mengenai masalah kepercayaan.
            Perbedaan pada jalan hidup ketiga tokoh ini pun ditampilkan berbeda oleh Achdiat. Apabila Rusli dan Anwar yang perjalanan hidupnya dirasa biasa – biasa saja, jarang sekali mereka mendapat suatu cobaan dari Tuhan. Namun sangat berbeda dengan hidup Hasan, selain gagal dalam hubungan rumah tangganya dengan Kartini, Ayah Hasan, Raden Wiradikarta yang kecewa atas pilihan hidup anaknya kemudian meninggal dunia. Selain itu, Achdiat membiarkan tokoh Rusli dan Anwar tetap hidup, namun pada bagian akhir cerita tokoh Hasan dimatikan, seperti yang diceritakan bahwa Hasan mengidap penyakit TBC, kemudian ditangkap Kempetai dan mati.
            Menurut saya, kenapa akhirnya Achdiat membuat tokoh utamanya dibuat meninggal? Ini merupakan sebuah pesan yang bisa saya tangkap setelah membaca novel Atheis ini, yakni bahwa jalan hidup yang tidak di ridhai oleh Tuhan akhirnya akan berujung pada kejadian tragis, atau lebih tepatnya apabila kita tidak hidup sesuai jalan yang benar menurut Tuhan, perjalanan hidup kita akan jauh dari keridhaan-Nya. Namun ini juga tidak berarti bahwa jalan hidup seseorang yang taat terhadap Tuhannya akan lancar – lancar saja, karena kehidupan ini merupakan sebuah ujian tiap detiknya sebelum kita menghadapi kehidupan yang sesungguhnya, yakni kekekalan setelah kematian.



Daftar Pustaka
Noor, Acep Zamzam, Sarjono, Agus R, dkk. 2014. 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling        Berpengaruh. Jakarta: PT Gramedia
Teeuw, Andreas. 1978. SASTRA INDONESIA BARU 1. Ende-Flores: Nusa Indah

yang lainnya

Ulasan Novel "Max Havelaar" karya Multatuli