Novel roman “Atheis” karya Achdiat
Karta Mihardja menjadi salah satu novel berpengaruh dalam kesusastraan
Indonesia. Dianggap novel berpengaruh karena selain merupakan novel roman
pertama setelah masa perang yang benar – benar menarik juga karena keberanian pengarangnya
mengangkat tema – tema yang dianggap sensitif, seperti sistem kepercayaan dan
agama, bahkan juga keyakinan tentang eksistensi Tuhan. Roman “Atheis” ini pun
seperti membuka jalan bagi sastrawan berikutnya untuk mengangkat tema
kepercayaan dan agama.
Kisah dalam novel ini menceritakan seorang pemuda Sunda,
Hasan, asal Garut yang datang dari keluarga Islam yang taat. Ayahnya seorang
penganut suatu tarekat Islam, dan meskipun Hasan telah menimba ilmu di Mulo (Sekolah Lanjutan Pertama) Belanda,
namun Hasan masih memegang teguh kepercayaan islam yang taat. Setelah ia gagal
dalam percintaan, dia mengambil sikap untuk ikut mempelajari dan menganut paham tarekat seperti ayahnya. Kemudian setelah lulus sekolah dia bekerja di sebuah
kantor di Bandung, dan di sana secara kebetulan Hasan bertemu dengan teman
lamanya yakni Rusli, juga dikenalkan dengan adiknya Rusli yaitu, Kartini.
Kemudian Hasan menjadi akrab dengan Rusli, seorang pemuda yang menganut paham
Marxis dan juga seorang Atheis. Pada awalnya Hasan menganggap kalau ajaran
Rusli itu salah, tetapi lama – lama Hasan pun terbawa oleh pahamnya Rusli dan
menjadi seorang Atheis. Akhirnya setelah semakin akrab, Hasan menikah dengan
Kartini, namun perkawinannya tidak harmonis.
Dalam novel ini dijelaskan sekali tentang perdebatan
antara dua ideologi atau pemikiran, yakni antara paham atheis pada tokoh Rusli
dengan paham percaya pada Tuhan atau beragama pada tokoh Hasan. Menurut saya,
Achdiat melalui novelnya ini ingin mencoba menunjukan bahwa cara hidup menjadi
seorang atheis itu tidak ridhoi oleh Allah SWT. Karena bisa kita ketahui yang
apa dialami oleh Hasan pada bagian akhir cerita, yakni kehidupannya menjadi
tidak lancar dan banyak cobaan juga kematiannya yang terbilang tragis. Cara
penulisan novel ini cukup menarik,
yakni Achdiat mencoba memberi suatu bumbu baru, sudut pandang baru di bagian
awal cerita dan pembaca dibawa ke dalam kehidupan tokoh pertama pada awal
cerita untuk melihat sosok Hasan. Pembaca juga seperti dibawa ke dalam kilas
balik kehidupan Hasan yang ditulisnya sendiri.
Selain sudut pandang baru, dalam gaya bahasa yang
digunakan oleh Achdiat pun berbeda dengan novel – novel sebelumnya terbitan
Balai Pustaka. Bahasa yang digunakan dalam novel – novel Balai Pustaka boleh
dikatakan seragam dengan menggunakan standar yang telah ditetapkan Balai
Pustaka. Tetapi setelah zaman perang, Achdiat menggunakan bahasa Indonesia dengan
ciri khasnya sendiri. Ini juga yang dilakukan oleh Balai Pustaka setelah perang
yakni lebih mengedepankan ciri khas bahasa yang digunakan oleh tiap – tiap
penulis. Dalam hal ini, Achdiat menampilkan bahasa Indonesia yang dipengaruhi
bahasa Sunda.
Menurut A. Teeuw (Sejarah Indonesia Baru 1, 1978;275)
“Pada setiap halaman buku jelaslah bahwa pengarangnya seorang Sunda. Hal ini
dapat dilihat pada dan bentuk kalimat yang dipinjam dari bahasa Sunda dan pada
penyimpangan – penyimpangan dari norma – norma sintaksis bahasa Melayu.
Nyatalah juga bahwa pengarang ini tidak menguasai bahasa Indonesia dengan
kelancaran yang sama dengan penulis yang lebih muda daripadanya pada zaman
sesudah perang, yaitu penulis – penulis yang dibesarkan dengan bahasa Indonesia
sebagai bahasa revolusi.” Yang menurutnya bahwa Achdiat sedikit gagal dalam hal
gaya bahasa yang dipakai dalam novel “Atheis” ini.
Namun pendapat A.Teeuw ini ditentang oleh Maman S.
Mahayana (33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, 2014;155) “Bagi saya,
pernyataan itu menunjukan, bahwa A.Teeuw menutup mata pada perkembangan dan
perubahan sosial politik yang terjadi pada novel Atheis terbit. Teeuw lalai, bahwa Indonesia sudah merdeka ketika
novel Atheis itu terbit, dan penerbitnya, Balai Pustaka, tidak lagi dalam
genggaman kebijaksanaan politik colonial.” Menurut kedua pendapat tersebut
mengenai novel Atheis ini, saya lebih setuju terhadap pendapatnya Maman, karena
memang benar pada saat novel ini terbit Balai Pustaka lebih menonjolkan ciri
khas bahasa yang dibawa oleh masing – masing penulis yang berbeda.
Novel Atheis dapat dikatakan sebagai buah pemikiran Achdiat
terhadap situasi yang dialaminya dalam kehidupannya. Yang dapat saya pahami
melalui novel ini ada beberapa pemahaman pada setiap tokohnya. Tokoh Rusli dan
Anwar merupakan seorang Atheis namun keduanya berbeda wataknya, Rusli yang
digambarkan cerdas, terpelajar, juga sangat dihormati oleh kawan – kawannya.
Berbeda dengan Anwar yang cenderung anarkis, blak – blakkan, juga kerap tidak
konsisten antara ucapan dan perbuatan. Namun baik Rusli maupun Anwar memegang
teguh ideologi yang dianutnya sebagai jalan hidup. Sangat terlihat berbeda
dengan apa yang digambarkan tokoh Hasan yang awalnya sangat memegang teguh iman
islamnya, tetapi hingga akhirnya Hasan terbawa oleh pergaulan dan menjadi seorang
Atheis yang setengah – setengah. Dikatakan seperti itu, karena dapat kita lihat
ketika Hasan yang telah menjadi atheis tergoncang pikirannya setelah berdebat
dengan ayahnya mengenai masalah kepercayaan.
Perbedaan pada jalan hidup ketiga tokoh ini pun ditampilkan
berbeda oleh Achdiat. Apabila Rusli dan Anwar yang perjalanan hidupnya dirasa
biasa – biasa saja, jarang sekali mereka mendapat suatu cobaan dari Tuhan.
Namun sangat berbeda dengan hidup Hasan, selain gagal dalam hubungan rumah
tangganya dengan Kartini, Ayah Hasan, Raden Wiradikarta yang kecewa atas
pilihan hidup anaknya kemudian meninggal dunia. Selain itu, Achdiat membiarkan
tokoh Rusli dan Anwar tetap hidup, namun pada bagian akhir cerita tokoh Hasan
dimatikan, seperti yang diceritakan bahwa Hasan mengidap penyakit TBC, kemudian
ditangkap Kempetai dan mati.
Menurut saya, kenapa akhirnya Achdiat membuat tokoh
utamanya dibuat meninggal? Ini merupakan sebuah pesan yang bisa saya tangkap
setelah membaca novel Atheis ini,
yakni bahwa jalan hidup yang tidak di ridhai oleh Tuhan akhirnya akan berujung
pada kejadian tragis, atau lebih tepatnya apabila kita tidak hidup sesuai jalan
yang benar menurut Tuhan, perjalanan hidup kita akan jauh dari keridhaan-Nya.
Namun ini juga tidak berarti bahwa jalan hidup seseorang yang taat terhadap
Tuhannya akan lancar – lancar saja, karena kehidupan ini merupakan sebuah ujian
tiap detiknya sebelum kita menghadapi kehidupan yang sesungguhnya, yakni
kekekalan setelah kematian.
Daftar Pustaka
Noor, Acep Zamzam,
Sarjono, Agus R, dkk. 2014. 33 Tokoh
Sastra Indonesia Paling Berpengaruh.
Jakarta: PT Gramedia
Teeuw, Andreas. 1978.
SASTRA INDONESIA BARU 1. Ende-Flores: Nusa Indah