Langsung ke konten utama

Membungkus Harkitnas dalam mimpi guru SMP



(Ulasan Cerpen "Harkitnas" Karya Putu Wijaya)
Oleh : Rudiana Sp

            Cerpen karya Putu Wijaya ini lagi – lagi dikemas berbeda. Hari Kebangkitan Nasional yang pada saat cerpen ini diterbitkan tepat 100 tahun pada tahun 2008. Latar waktu dalam cerita ini pun tepat tahun 2008. Cerpen ini dikemas berbeda karena Putu Wijaya membuat sebuah kejutan di bagian akhir cerpen ini, yang akan membuat pembaca terkejut atau tersenyum sendiri mengetahui bahwa semua cerita dari awal cerita sampai akhir, hanyalah mimpi. Ini yang membuat saya kagum pada tulisan – tulisan karya Putu Wijaya, karena beliau selalu menuangkan sebuah ide yang menjadi ciri khas di setiap cerpennya. Atau lebih dikenal dengan "teror mental".
            Dalam cerpen ini sosok Ali diceritakan sebagai sosok yang sangat nasionalis, terbukti saat ia terbangun dari tidurnya dan mencoba untuk membangunkan semua orang untuk mengajak mereka memperingati dan berdoa di Hari Kebangkitan Nasional yang ke- 100. Awalnya Ali mencoba membangunkan keluarganya, namun keluarga tersebut tidak bangun juga, hingga akhirnya dia pergi ke persimpangan jalan untuk membangunkan semua orang. Pembaca pada awalnya mengira Ali ini sangat Nasionalis, namun di bagian akhir cerpen ini, dugaan tersebut dipatahkan oleh Putu Wijaya, karena semua hal yang terjadi di awal semuanya itu hanya mimpi dari Ali.
            Gaya bahasa yang dipakai oleh Putu Wijaya pun sangat menarik. Dalam cerpen ini banyak gaya bahasa yang bermajas. Kalimatnya pun sangat mudah dimengerti dan tidak membuat bosan pembaca. Namun ada beberapa kalimat yang tidak umum didengar, seperti Ali jadi senewen , “Ayo! Anak itu sudah besar nggak usah ditetekin lagi nanti kena Oedipus Complex”. Yang mungkin bagi pembaca awam akan sedikit bertanya – tanya arti kalimat tersebut. Tetapi secara keseluruhan kalimatnya mudah dimengerti karena Putu Wijaya memakai kata sehari – hari yang digunakan pada umumnya.
            Selain menaruh kejutan di bagian akhir Putu Wijaya pun dalam cerpennya ini menyelipkan komedi yang bisa dibilang komedi dewasa. Karena makna dalam kalimat komedi tersebut menjurus pada hubungan suami istri, dibuktikan pada bagian berikut ini

“Ali mendekati orok itu dengan dongkol. Lalu ia merengutkan tetek istrinya keluar dari mulut anaknya. Tapi si kecil membangkang tidak mau melepaskan. Ali memegangi tetek istrinya dan memijit pipi anaknya. Tapi tiba-tiba tangan kiri istrinya bergerak dan menampar.
“Udah ah, kan baru kemarin!” 

            Kemudian dalam cerpen ini pun, sedikit menyinggung permasalahan di tanah air pada saat itu. Dengan gaya satirenya Putu Wijaya menyinggung permasalahan rakyat Indonesia yang setelah merdeka malah menjadi pemalas karena sudah tidak lagi menghargai kemerdekaan. Seperti bagian berikut ini,

Seluruh ruangan menjadi terang-benderang bagaikan teriakan yang lantang dalam malam yang gelap-gulita itu, karena para tetangga semuanya memadamkan listrik akibat ancaman tarif listrik yang baru.

“Setelah kejadian 14 mei 1998, segala kehebohan menjadi hambar.”

“Inilah yang menyebabkan kemerdekaan tidak ada gunanya, karena kemerdekaan sudah diartikan kebablasan. Boleh berbuat apa saja. Boleh tidur seenak udel karena sudah tidak ada lagi majikan yang marah. Boleh malas, karena tidak takut lagi akan ditindak, karena bukan hanya kemerdekaan, kebodohan dan kemiskinan pun dilindungi oleh undang-undang karena itu bagian dari hak azasi manusia. Prek! Telek kebo!”

“Satpam-satpam kami mabok semua! Para petugas tidak melaksanakan tugasnya. Kami semua amatir dalam segala hal. Guru amatir, politikus amatir, budayawan amatir, agamawan amatir, pemerintah dan rakyat semua amatir. …”

 Cerpen ini  pun seakan mencoba menyadarkan pembacanya agar tidak lagi berleha – leha lagi dalam pekerjaan apapun agar negeri ini dapat maju dan tidak terbelakang terus.
            Konflik yang dihadirkan juga bertahap, ini juga yang membuat cerpen ini semakin menarik. Dari mulai Ali terbangun, kemudian mencoba membangunkan seisi rumahnya, hingga akhirnya Ali berteriak sampai suaranya habis di persimpangan jalan. Dan kejeniusan Putu Wijaya disimpan di bagian akhir cerpen ini. Ketika suara adzan berkumandang, semua orang terbangun perlahan, namun Ali yang sedari awal mencoba membangunkan orang – orang untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional sebenarnya ia masih tertidur lelap di kasurnya. Jadi, semua yang dilakukan Ali sebelumnya hanya mimpi. Ini juga yang membuat pembaca akhirnya berpikir bahwasanya kita jangan menjadi manusia yang hanya bisa berkata – kata saja tanpa merealisasikan kata – katanya.
            Akhirnya pesan yang ingin disampaikan dari cerpen ini pun tersampaikan secara mudah dan sempurna. Karena gaya bahasanya yang ringan juga umum membuat siapa saja yang membacanya pasti mengetahui pesan dari cerpen ini. Cerita yang dituangkan dalam cerpen ini pun menarik, karena perhatian utamanya hanya merujuk pada Ali saja dengan dipermanis oleh beberapa tokoh pendukung seperti, istri, anak, dan pembantu Ali, serta satpam. Karena perhatiannya pada satu tokoh saja, membuat cerpen ini mudah untuk dipahami oleh kalangan pembaca mana pun.
           


yang lainnya

Ulasan Novel "Max Havelaar" karya Multatuli

Ulasan Novel "Atheis" karya Achdiat K. Mihardja

Pesona Dirimu