Karya sastra bisa menjadi gambaran
nyata situasi masyarakat pada saat karya tersebut dibuat, termasuk kondisi
sosial, kondisi ekonomi, kondisi pemerintahan bisa tergambar dalam sebuah karya
sastra. Inilah yang menjadi hal penting dalam dunia sastra, bahwa sebenarnya
karya sastra itu harus mempunyai hubungan atau korelasi dengan keadaan dan
situasi nyata pada saat karya sastra itu dibuat. Misalnya dalam karya –
karyanya Remy Sylado dalam “Puisi Mbeling”
yang memperlihatkan situasi masyarakat pada tahun sebelum 1972, sepanjang tahun
1972, dan setelah 1972 karena puisi – puisinya tersebut dibuat pada tahun –
tahun tersebut.
Berbicara tentang Remy Sylado,
beliau merupakan sastrawan kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 12
Juli 1943 juga yang bernama asli Yusbal Anak Perang Imanuel
Panda Abdiel Tambayong. Remy Sylado merupakan salah satu seniman yang bisa
dibilang lengkap karena selain menjadi penyair, beliau juga merupakan seorang
pemusik, pelukis, juga aktor. Remy yang sekarang identik dengan pakainnya yang serba
putih ini mendapatkan namanya dari not balok "23761" yang apabila dibaca
Re-Mi-Si-La-Do. Beliau merupakan sastrawan yang mencetuskan gerakan puisi mbeling pada tahun 1972. Puisi mbeling merupakan suatu gerakan yang
dicetuskan oleh Remy Sylado untuk mendobrak dominasi rezim Orde Baru pada saat
itu. Mbeling dalam bahasa Jawa,
berarti nakal atau suka memberontak terhadap kemapanan dengan cara – cara yang
menarik perhatian. Dalam puisi mbeling
ini yang didobrak adalah paham bahwa pada saat itu puisi harus sesuai dengan
aturan tata bahasa, kaidah yang berlaku. Dalam kata pengantarnya, Remy Sylado
mengatakan bahwa yang hendak didobrak gerakan puisi mbeling adalah pandangan estetika yang menyatakan bahwa bahasa
puisi harus diatur dan dipilih-pilih sesuai dengan stilistika yang baku.
Pandangan ini, menurut gerakan puisi mbeling,
hanya akan menyebabkan kaum muda takut berkreasi secara bebas (Remy Sylado ,
2004 : XII) .
Menurut
pendapatnya tersebut bisa kita simpulkan bahwa gerakan puisi mbeling ini menginginkan adanya pembaruan
dalam dunia perpuisian Indonesia saat itu. Dalam gerakan puisi mbeling ini juga banyak sastrawan –
sastrawan muda yang kemudian lahir, dan memang bahwa gerakan ini dipelopori
oleh kaum muda saat itu. Mereka merasa jengah dengan gaya puisi yang harus
selalu mengikuti aturan dan kaidah bahasa, Karena menurut mereka bahwa
sebenarnya puisi tidak harus menggunakan kata baku, tetapi juga kata sehari –
hari atau bahkan kata – kata yang jorok sekalipun. Jadi, dapat kita simpulkan
bahwa gerakan puisi mbeling ini dapat
dikatakan sebagai gerakan yang menjadi pelopor pembaruan dalam dunia puisi di
Indonesia.
Sebenarnya
selain puisi mbelingnya Remy Sylado,
pada saat itu ada pula seorang sastrawan bernama Sutardji Calzoum Bachri yang
menjadi pelopor dari puisi konkret pada tahun 1970-an. Sutardji lebih dikenal
dengan kredo puisinya yang membebaskan kata – kata dari maknanya dan
dikembalikan pada makna aslinya, di mana kata – kata merupakan kata itu sendiri.
Bila kita kaitkan dengan pendapatnya Sutardji yang mengatakan bahwa salah satu
elemen yang menyebabkan timbulnya puisi konkret adalah ide untuk membuat kata
atau bunyi menjadi berwujud dan kehadiran kata yang tidak begitu saja mau
menerima susunan konvensional (Sutardji, 2007 : 106). Menurut pendapat Sutardji
tersebut terlihat adanya kesamaan dengan puisi mbeling yang juga sama – sama mempunyai gebrakan ingin mendobrak
susunan kata dalam puisi pada saat itu.
Puisi
konkret lebih mementingkan estetika bentuk grafis atau topologi atau tata letak
kata – kata dalam puisinya yang bisa membentuk sebuah gambar. Sebenarnya puisi mbeling bisa juga dikatakan termasuk ke
dalam puisi konkret. Karena saya dapat mengetahui adannya persamaan ini setelah
adanya beberapa karya dari gerakan puisi mbeling
dan puisi konkret yang mementingkan unsur estetika topografinya. Seperti
puisinya “Drama Sebabak” karya Sutardji dengan “Mencari Identitas Nasional
Sesat di Varietas Nasional” karya Remy Sylado dapat dilihat bahwa keduanya
menyiratkan arti puisinya dalam bentuk gambar atau toporafi. Walaupun
sebenarnya puisi mbeling lebih
nyeleneh.
Selain
gerakan puisi mbeling dan puisi
konkret yang menginginkan adanya pembaruan dalam puisi, ada pula sebuah acara
yang disebut “Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir”. Acara ini diadakan di Aula
Universitas Parahyangan, Bandung 8 September 1974. dan diikuti oleh sejumlah
pengarang Indonesia. Dalam acara ini, Slamet Kirnanto yang bertindak sebagai
"Jaksa" membacakan "tuntutan"-nya yang berjudul "Saya
Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-Akhir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan
Brengsek!"
Tuntutan Slamet kirnanto
pada secara tersurat dan tersirat memang teraasa dalam ketidakpuasannya
terhadap puisi di Indonesia saat itu. Ketidakpuasan itu, antara lain,
menyangkut: (1) sistem penilaian terhadap puisi Indonesia, (2) kritikus sastra
Indonesia, (3) media yang memuat karya sastra Indonesia, dan (4) beberapa
penyair Indonesia yang dianggap "mapan". Tuntutan dari Slamet kinarto ini kemudian
dijawab oleh beberapa penyair yang bersangkutan seperti Sapardi Djoko Damono, H.B Jassin, Goenawan Muhammad, dan M.S Hutagalung dalam “Jawaban Atas
Pengadilan Puisi” yang dilaksanakan di Teater Universitas Indonesia, Jakarta,
21 September 1974. Beberapa jawaban yang
diterima oleh Slamet Kirnanto malah menjadi menyudutkan Slamet sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh
Sapardi Djoko Damono bahwa,
"Berita di Koran tentang peristiwa di Bandung itu bisa menimbulkan kesan seolah-olah sekelompok penyair muda sedang memberontak terhadap nilai-nilai yang ditegakkan oleh penyair yang sudah established, yang biasanya lebih tua. Ternyata tidak demikian halnya. Darmanto Jt., Slamet Kirnanto, Goenawan Mohamd, Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail dan beberapa nama lain yang disebut-sebut adalah sebaya. Dari segi umur mereka memiliki kemungkinan yang sama, namun karena ada yang suka belajar dan ada yang hanya suka mengeluh maka nilai puisi yang mereka tulis berbeda. Dan peristiwa itu jelas bukan merupakan pemberontakan kaum muda terhadap yang tua karena ternyata si "penuntut" adalah Slamet Kirnanto yang usianya beberapa tahun lebih tua dari Abdul Hadi W.M., penyair yang dijadikan bahan ejekan dan tuduhan, yang jauh lebih berbakat dan telah menerbitkan puisi yang jauh lebih baik kualitasnya dari, misalnya Slamet Kirnanto sendiri. Lebih kocak lagi karena Slamet Kirnanto telah mendakwa Abdul Hadi sebagai epigon; saya kira seharusnya mereka bertukar peran saja" (Sapardi Djoko Dramono : 1983).
Dalam pernyataan yang
dikemukakan oleh Sapardi tersebut dapat disimpulkan bahwa “Pengadilan Puisi”
yang dipelopori oleh Slamet Kirnanto tidak berjalan dengan mulus karena malah
menjadi seperti boomerang bagi dirinya sendiri, dan mungkin bisa dikatakan
bahwa “Pengadilan Puisi” ini hanya sedikit kontribusinya terhadap dunia
kesusastraan Indonesia khususnya pada puisi. Berbeda dengan gerakan puisi mbeling dan puisi konkret yang
dikemudian hari menjadi peristiwa dalam dunia kesusastraan Indonesia yang
memberikan andil lebih terhadap dunia puisi di Indonesia.
Kemudian setelah
gerakan puisi mbeling, puisi konkret
dan “Pengadilan Puisi”, pada tahun 1984 muncul sebuah perdebatan dalam dunia
sastra Indonesia, yakni perdebatan sastra kontekstual. Dalam sebuah pertemuan
di Solo (28-29 Oktober) : Sarasehan Kesenian 1984, Arief Budiman diakui sebagai
pencetus atau pelopor faham tersebut. Istilah Sastra Kontekstual muncul dalam makalah
Ariel Heryanto yang dipresentasikan dalam sarasehan kesusastraan di Solo. Dari
sinilah kemudian perdebatan seputar Sastra Kontekstual muncul dan berkembang
menjadi sebuah polemik yang kemudian memancing berbagai komentar pro dan kontra
dari publik sastra di Indonesia. Apabila mengutip pendapatnya Ariel Heryanto
yang mengemukakan bahwa,
“…gagasan atau faham yang sudah dijuluki sastra kontekstual itu bukanlah serumpun pemikiran yang batas – batasnya teramat jelas, dan bukan milik sekelompok organisasi. Mereka yang berfihak pada gagasan dasar sastra kontekstual tidak terikat pada serangkaian rumus – rumus pernyataan yang baku dan seragam” (Ariel Heryanto, 1985 : 3).
“…gagasan atau faham yang sudah dijuluki sastra kontekstual itu bukanlah serumpun pemikiran yang batas – batasnya teramat jelas, dan bukan milik sekelompok organisasi. Mereka yang berfihak pada gagasan dasar sastra kontekstual tidak terikat pada serangkaian rumus – rumus pernyataan yang baku dan seragam” (Ariel Heryanto, 1985 : 3).
Menurut pendapat dari Ariel Heryanto tersebut
bisa disimpulkan bahwa sastra kontekstual adalah gerakan
kesusastraan yang berawal dari pemahaman bahwa nilai-nilai sastra tidak mengenal universalitas,
melainkan tumbuh dan berkembang sesuai waktu, tempat, dan peradabannya. Maksud
dari pernyataan baku tersebut adalah yang tidak terikat dalam suatu maklumat,
konsepsi, manifes tertentu. Sebenarnya apabila dikaitkan dengan gerakan puisi mbeling dan puisi konret tidak ada
kaitannya sama sekali secara langsung. Tetapi setelah saya cermati, mungkin
pendapat bahwa sastra kontekstual itu adalah sastra yang tumbuh dan berkembang
sesuai waktu dan peradabannya, bisa dikaitkan dengan gerakan puisi mbeling dan puisi konkret yang pada
zaman itu mereka mempunyai pembaruan dalam gaya puisi yang berbeda dengan zaman
– zaman sebelumnya. Ini menunjukan bahwa karya sastra memang berkembang sesuai
waktu, tempat, dan peradabannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Bachri, Sutardji
Calzoum. 2007. ISYARAT Kumpulan Esai. Cetakan ke-1. Yogyakarta: Indonesia Tera
Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. “Remy Sylado”. 29 Mei
2018. http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Remy_Sylado
Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. “Pengadilan Puisi”. 29
Mei 2018. http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Pengadilan_Puisi
Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. “Sastra Kontekstual”.
29 Mei 2018.
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Sastra_Kontekstual
Darmono, Sapardi Djoko.
1983. Kesusastraan Indonesia Modern – Beberapa Catatan. Cetakan ke-1. Jakarta: Gramedia
Heryanto, Ariel. 1985.
Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: CV Rajawali
Aini, Ratu. “Cara Beternak Itik Lampung”. 15
Januari 2001. http://ternakindo.com/2008/12/literasi-informasi-ternak-itik-nasional.html.
Sihaloholistick. “Remy Sylado dan Puisi Mbeling”.
29 Mei 2018. http://www.jendelasastra.com/wawasan/pokok-dan-tokoh/remy-sylado-dan-puisi-mbeling
Sylado,
Remy. 2004. Puisi Mbeling. Cetakan ke-1. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia