Langsung ke konten utama

Ulasan Cerpen “Tegak Lurus Dengan Langit” karya Iwan Simatupang


Image result for tegak lurus dengan langit


Rasa Tanggungjawab dalam Tragedi Pembunuhan
Oleh : Rudiana Sapta Prayoga
“Tegak Lurus dengan Langit” karya Iwan Simatupang, di bagian awal cerpen ini sudah disuguhi dengan sebuah kejadian pembunuhan. Lagi – lagi Iwan Simatupang membuat suasana mencekam dalam karyanya ini. Cerpen yang bercerita tentang pergulatan pikiran dari tokoh utama karena keluarganya bernasib malang setelah ditinggal oleh ayahnya selama 17 tahun.  Ciri khas dari cerpennya Iwan Simatupang yaitu selalu tidak menyebutkan nama dari tiap tokoh dalam ceritanya, termasuk cerita ini dimana tokoh utama disebut “tokoh kita”.
Pemilihan kata ataupun diksi yang digunakan oleh Iwan Simatupang dalam cerpen ini pun sangat menarik. Singkatnya, cerpen ini bercerita tentang sebuah keluarga yang ditinggalkan oleh kepala keluarganya sendiri yakni sang Ayah, yang menyebabkan berbagai tragedi dalam keluarganya. Tokoh kita kehilangan sosok figur ayah, juga sang Ibu yang hidupnya gamang, tak bisa disebut janda karena memang tak ada surat cerai, juga tak ada kabar kalau suaminya itu meninggal. Hingga akhirnya mereka sepakat apabila ayahnya telah hilang saja, tidak tahu apakah masih hidup atau tidak. Karena hilang, bisa saja suatu waktu ayahnya pulang.
Pergolakan, kekacauan dari keluarga ini dimulai ketika kedua abang dari tokoh kita membunuh petugas sensus yang menanyakan di mana keberadaan ayah mereka. Kedua abangnya dibuang jauh ke penjara. Setelah itu, bagai sudah jatuh tertimpa tangga, tokoh kita menemukan Ibunya sedang bemesraan, berpeluk – pelukan, bercumbu dengan seorang lelaki baik kenalan ayahnya. Ibunya pun malu, hingga kemudian ia meninggal. Akhirnya tokoh kita ini pun tinggal sebatang kara di dunia ini. Hingga saat ayahnya tiba – tiba pulang, tokoh kita ini kemudian dapat menyimpulkan bahwa semua tragedi yang terjadi dalam hidupnya disebabkan oleh menghilangnya sang Ayah, kemudian tokoh kita membunuh ayahnya, dan ia berlari ke puncak bukit, tak tahu kenapa berani membunuh, tetapi perasaannya sangat puas saat itu. Kemudian ia berjanji saat esok tiba ia akan menyerahkan dirinya pada polisi.
Inilah merupakan rasa tanggungjawab yang saya ambil dari cerpen ini. Ya, memang sangat kejam apabila kita membunuh ayah kandung sendiri. Mungkin apabila tokoh kita ini mempunyai iman yang sangat tinggi, ia tidak akan sampai berani melakukan pembunuhan yang merupakan dosa besar terhadap Tuhan. Tetapi yang saya ambil adalah rasa tanggungjawabnya dari tokoh kita, walaupun dia telah berbuat salah, tetapi dia secara blak – blakan mengakuinya, juga siap menerima hukumannya, dengan menyerahkan diri pada polisi. Namun dibalik rasa tanggungjawab itu memang mengandung salah satu dosa besar terhadap Tuhan yang tak patut kita contoh.
Gaya bahasa metafora dan terkadang hiperbola ditemukan dalam cerita ini, pengarang mengibaratkan sesuatu terjadi pada seorang manusia seperti benda yang ditemukan hampir di akhir cerita.
“Pandangan mata inilah terutama yang membuat tokoh kita bingung. Seolah kedua bola matanya adalah bara, berpijar hitam, masuk menerobos ke dalam seluruh tubuhnya.”
“Laksana pola listrik sejenis, elektron-elektron kedua pasang bola mata itu saling bertolakan. Tokoh kita tertunduk! la kalah. Kedua bola matanya lari terbirit-birit ke motif-motif permadani di bawah telapak kakinya. Mata! Mata itu!”
Ada simbol juga dalam cerpen “Tegak Lurus dengan Langit” karya Iwan Simatupang ini. Diawal dan akhir cerpen di manakaki tokoh utama berdiri dia bukit yang merupakan perlambang manusia sebagai makhluk ciptaann-Nya. Dia berdiri tegak lurus dengan langit yang melambangkan kesadaran penuh atas segala perbuatannya pada sang Pencipta. Kemudian langit melambangkan “Tuhan Pencipta Alam Semesta”. Semuanya ini merupakan simbol dari semua yang kita lakukan pada akhirnya akan ditentukan oleh Tuhan.

yang lainnya

Ulasan Novel "Max Havelaar" karya Multatuli