Langsung ke konten utama

Ulasan "Cerita dari Digul" karya Pramoedya Ananta Toer


Digul, Sengsara Tiada Akhir

Kali ini saya cukup terkagum - kagum setelah membaca buku "Cerita dari Digul" milik Pramoedya Ananta Toer ini. Bukan karena penulisnya Pram, atau penulisan bahasanya, tetapi saya dibuat kagum terhadap apa yang dikisahkan dalam 5 buah cerpen ini. Kagum terhadap apa? Nanti saya paparkan alasannya. 

Sedikit saja saya akan membahas tentang latar belakang buku ini dibuat. Buku ini memuat 5 kisah hidup orang - orang buangan di Digul yang berusaha keluar dari daerah buangan tersebut. Tahanan politik atau orang yang dibuang ke Digul merupakan orang - orang yang dituduh berpartisipasi, ikut andil dalam beberapa gerakan pemberontakan diberbagai daerah terhadap pemeritahan Kolonial Belanda saat itu. Gerakan ini diprakarsai oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Siapapun pada saat itu yang dicurigai atau dituduh sebagai orang komunis akan ditangkap kemudian dipenjarakan dan dibuang ke Digul, walaupun tidak sedikit diantaranya yang belum terbukti benar, hanya sebatas tuduhan saja. Buku ini disusun oleh Pramoedya setelah keresahan hatinya teringat akan masa kecilnya sewaktu beliau di Blora melihat foto - foto dalam jilid - jilid "Minggat dari Digul". Maka Pram merasa sudah seharusnyalah beliau mencoba kembali mengangkat cerita dari tempat pembuangan Digul ini. Hingga pada saat 5 kisah ini dihimpun sendiri oleh Pram, yakni perinciannya sebagai berikut:
1. D.E Manu Turoe: "Rustam Digulist"
2. Oen Bo Tik: "Darah dan Air Mata di Boven Digul
3. Abdoe'lXarim M.s.: " Pandu Anak Buangan"
4. Wiranta (eks-Digulist): "Antara Hidup dan Mati atau Buron dari Boven Digul"
5. Tanpa Nama (TN): "Minggat Dari Digul"

Pram sendiri menganggap bahwa 5 buah cerita ini sangat penting bagi sejarah kesastraan dan bahasa Indonesia. Dianggapnya seperti itu, karena bahasa asli dalam cerita ini merupakan bahasa Melayu. Bahasa ini sendiri, sejak Sumpah Pemuda pada tahun 1928 telah ditetapkan sebagai bahasa pemersatu bangsa Indonesia. Juga salah satu karya dari Abdoe'lXarim "Pandu Anak Buangan" yang sampai tahun 1945 merupakan satu-satunya karya sastra Indonesia dengan tema Psikologi pada masa itu.

Kemudian mengenai apa yang saya rasakan ketika membaca buku ini, nyatalah adanya bahwa alam pikir saya serasa dibawa melintas jauh menembus dimensi waktu menuju tahun - tahun saat pengasingan ke Boven Digul digalakkan. Juga bayangan tentang alam rimba seperti yang saya ketahui layaknya hutan - hutan pada umumnya sangat benar berbeda nyatanya. Keadaan hutan yang dilukiskan dalam kisah di Digul ini sangat berbahaya, hutan belantara di Papua masih perawan, belum pernah terjamah sama sekali ketika Boven Digul dijadikan daerah pengasingan pada tahun 1927. Saya dipaksa membayangkan bagaimana kejamnya alam pada saat itu, para Digulist yang mudah terserang penyakit, salah satu yang paling berbahaya yakni malaria hitam, bila air kencing telah berubah menjadi hitam maka ajal semakin dekat untuk bertamu pada penderitanya.

"Obat...? Obat tinggal menunggu... mati atau hidup!"
"Ah, lagi - lagi kau berkata begitu, Son!"
"Habis, mau apa lagi? Sedang makannya saja, orang yang menderita sakit semacam itu harus dijaga betul. Sebagaimana aku pernah tahu, seorang kawan yang diopname di hospitaal Digul lantaran decentri, ia tidak boleh makan lain dari pada susu dan roti bescuit hingga sampai sembuh. Lantas, bagaimana kita yang dalam rimba begini ini, apabila tidak tinggal menunggu mati atau hidup?" (Pramoedya, 2015:263) 

Sebuah percakapan getir dari dua orang sahabat tersebut sedikit bisa memperlihatkan pada khalayak betapa getir dan susah hidup di alam rimba Digul ini. Ya, selain penyakit malaria hitam yang mematikan, tidak sedikit pula penyakit lain yang ganas atau kesusahan yang lain seperti decentri, terjebak dalam ranjau suku Kayakaya, juga tiba - tiba berjumpa ular besar, dan lain sebagainya. Suatu realitas yang jarang diketahui oleh khalayak umum.

Selain keadaan geografis yang dipaparkan secara gamblang dalam buku ini, juga yang menarik perhatian saya adalah penghuni asli Boven Digul yang biasa disebut suku Kayakaya oleh para Digulist. Pada awalnya suku Kayakaya ini digambarkan sebagai manusia biadab, tidak segan - segan memotong leher manusia kemudian disantapnya bersama - sama. Namun kemudian, dalam beberapa kisah dan perjalanan kabur dari Digul, nyatalah digambarkan bahwa mereka ini tidak semuanya seperti apa yang ditakutkan oleh para Digulist. Banyak diantaranya suku Kayakaya yang bersahabat dengan para Digulist atau Bapa/Mama Komine-sebutan suku Kayakaya terhadap Digulis- bahkan tidak sedikit yang sering berkunjung ke Tanah Merah (daerah Digul) untuk sekadar menukar sagu,bulu burung cendrawasih, telur burung Kasuari dengan alat perkakas, baju, celana, kain dan sebagainya. Ada pula bahkan suku Kayakaya ini yang menetap lama di Tanah Merah untuk mencari penghidupan mereka dengan bekerja pada para Digulist. 

Sebenarnya masih banyak hal baru yang belum khalayak ketahui tentang keadaan di Digul ini. Namun tidak enak rasanya apabila saya bongkar semuanya. Suatu pengalaman mengasyikan juga menegangkan ketika membaca buku ini. Mengasyikan, karena saya mendapatkan hal baru dalam sejarah bangsa Indonesia mengenai daerah pengasingan Digul ini. Juga menegangkan saat saya tengah bermanja dengan isi cerita dari buku ini, sangat kentara sekali akan ketegangan, kesetiaan, kesusahan hati, kesedihan juga keputusasaan yang tergambar dari para Digulist yang tengah berusaha keluar dari Boven Digul. "Cerita dari Digul" ialah salah satu karya sastra yang patut untuk dibaca apabila ingin tahu bagaimana sejarah itu terjadi pada masanya.

yang lainnya

Ulasan Novel "Max Havelaar" karya Multatuli