Suatu sore, Pak Sudraja melihat
sepuntung rokok yang bercahaya. Ia heran, karena baru pertama kali ia melihat
sebuah puntung rokok yang bercahaya. Sampai – sampai cahayanya mengalahkan
terang surya senja indah saat itu. Pak Sudraja merasa penasaran dan ingin
mengambil puntung rokok tersebut, namun apalah daya ia merasa gengsi untuk
memungut sebuah puntung rokok yang tersembunyi di balik bebatuan dekat pohon
trotoar itu. Ia tidak mau bersusah payah harus jongkok dahulu kemudian merelakan
tangannya yang bersih yang biasanya ia pakai untuk meraba ribuan kertas laporan
di tempat kerjanya. Akhirnya tanpa pikir panjang, Pak Sudraja pergi
meninggalkan puntung rokok bercahaya tersebut, walaupun dengan hati yang masih
penasaran, tetapi gengsinya masih lebih
besar dari pada rasa penasarannya itu.
Langit mulai bergegas mengganti baju
birunya menjadi baju hitam. Kini malam semakin malam, malam mengisi setiap
sudut kota dengan berbagai keruwetannya. Puntung rokok bercahaya itu masih pada
tempatnya, yakni mantap tersempil diantara bebatuan dekat pohon trotoar. Tidak
banyak orang yang sadar bahwa ada sebuah puntung rokok bercahaya di trotoar.
Tak lama kemudian, seorang pedagang kaki lima berhenti di samping pohon itu
untuk beristirahat sejenak. Alangkah kagetnya ia, ketika melihat bahwa ada
cahaya di antara bebatuan itu. Setelah ia perhatikan cukup lama karena
terkesima, ia sadar bahwa itu adalah puntung rokok bercahaya. Cahaya yang
dikeluarkan ialah cahaya putih mengkilat menembus celah – celah bebatuan. Pedagang
ini gemetaran seakan melihat sesuatu yang sangat menyeramkan baginya, ia tidak
bisa menggerakkan tubuhnya untuk sesaat. Matanya melotot, mulutnya menganga, ia
terbelalak pada cahaya itu, keringat dingin mengucuri seluruh tubuhnya, dan
dengan satu hentakan kaki ia lari terbirit – birit sambil mendorong gerobak
dagangannya, ia hanya punya pikiran bahwa sekarang ia harus segera pulang ke
rumah menemui anak dan istrinya yang tengah keroncongan karena lapar.
Tengah malam. Kini jalanan sepi,
hari sudah larut malam. Orang – orang tengah tebuai dalam mimpinya masing –
masing. Orang – orang sedang sibuk menata rencana apa yang akan dilakukannya
esok hari. Namun masih ada orang – orang yang bergelut dengan dingin dan
kejamnya angin malam di jalanan. Ialah para pencari sisa sisa makan orang.
Mereka dengan ikhlas pergi berkelana mencari rezeki di tempat – tempat kotor.
Ujang, bocah kecil dengan teman setianya karung sedang berjalan menyusuri
trotoar jalanan. Ia mencari apapun yang mungkin bisa ia pakai atau ia makan. Kebiasaan
ini telah ia jalani sejak ia sangat kecil, dulu ia pergi bersama kakeknya,
namun sekarang kakeknya sedang sakit. Ujang masih sabar mencari harapan di
jalanan. Di kejauhan ia melihat setitik cahaya yang cukup besar. Ia datangi
sumber cahaya itu. Ya, puntung rokok bercahaya itu ternyata masih setia dengan
bebatuannya. Betapa herannya ia melihat sebuah puntung rokok yang bercahaya
itu. Segera ia singkirkan bebatuan itu, kemudian ia ambil puntung rokok bercahaya
itu. Dengan perasaan yang masih terheran – heran dan bingung, ia perhatikan
puntung rokok bercahaya itu di tangannya. Cahaya itu merambat pada setiap tubuh
Ujang. Hingga apabila ada orang lain yang melihat Ujang sekarang, orang lain
akan melihatnya sebagai sebuah malaikat yang tengah membawa sekarung harapan
penuh bagi manusia – manusia di muka bumi ini. Ujang masih asyik memerhatikan
puntung rokok bercahaya itu, perlahan ia berjalan sambil masih melihat – lihat
benda yang ia pegang. Puntung rokok bercahaya itu kemudian ia genggam erat – erat,
ia mantapkan hati untuk pulang ke rumah. Menemui kakek yang pasti akan senang
jika ia berikan puntung rokok bercahaya itu.
Keadaan jalanan kota yang kala itu
gelap, hanya diterangi oleh lampu jalan yang remang – remang. Kini muncul
cahaya putih nan menyilaukan mata sedang berjalan menyusuri trotoar.