Langsung ke konten utama

Puntung Rokok


Hasil gambar untuk cigarette wallpaper
            Suatu sore, Pak Sudraja melihat sepuntung rokok yang bercahaya. Ia heran, karena baru pertama kali ia melihat sebuah puntung rokok yang bercahaya. Sampai – sampai cahayanya mengalahkan terang surya senja indah saat itu. Pak Sudraja merasa penasaran dan ingin mengambil puntung rokok tersebut, namun apalah daya ia merasa gengsi untuk memungut sebuah puntung rokok yang tersembunyi di balik bebatuan dekat pohon trotoar itu. Ia tidak mau bersusah payah harus jongkok dahulu kemudian merelakan tangannya yang bersih yang biasanya ia pakai untuk meraba ribuan kertas laporan di tempat kerjanya. Akhirnya tanpa pikir panjang, Pak Sudraja pergi meninggalkan puntung rokok bercahaya tersebut, walaupun dengan hati yang masih penasaran,  tetapi gengsinya masih lebih besar dari pada rasa penasarannya itu.
            Langit mulai bergegas mengganti baju birunya menjadi baju hitam. Kini malam semakin malam, malam mengisi setiap sudut kota dengan berbagai keruwetannya. Puntung rokok bercahaya itu masih pada tempatnya, yakni mantap tersempil diantara bebatuan dekat pohon trotoar. Tidak banyak orang yang sadar bahwa ada sebuah puntung rokok bercahaya di trotoar. Tak lama kemudian, seorang pedagang kaki lima berhenti di samping pohon itu untuk beristirahat sejenak. Alangkah kagetnya ia, ketika melihat bahwa ada cahaya di antara bebatuan itu. Setelah ia perhatikan cukup lama karena terkesima, ia sadar bahwa itu adalah puntung rokok bercahaya. Cahaya yang dikeluarkan ialah cahaya putih mengkilat menembus celah – celah bebatuan. Pedagang ini gemetaran seakan melihat sesuatu yang sangat menyeramkan baginya, ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya untuk sesaat. Matanya melotot, mulutnya menganga, ia terbelalak pada cahaya itu, keringat dingin mengucuri seluruh tubuhnya, dan dengan satu hentakan kaki ia lari terbirit – birit sambil mendorong gerobak dagangannya, ia hanya punya pikiran bahwa sekarang ia harus segera pulang ke rumah menemui anak dan istrinya yang tengah keroncongan karena lapar.
            Tengah malam. Kini jalanan sepi, hari sudah larut malam. Orang – orang tengah tebuai dalam mimpinya masing – masing. Orang – orang sedang sibuk menata rencana apa yang akan dilakukannya esok hari. Namun masih ada orang – orang yang bergelut dengan dingin dan kejamnya angin malam di jalanan. Ialah para pencari sisa sisa makan orang. Mereka dengan ikhlas pergi berkelana mencari rezeki di tempat – tempat kotor. Ujang, bocah kecil dengan teman setianya karung sedang berjalan menyusuri trotoar jalanan. Ia mencari apapun yang mungkin bisa ia pakai atau ia makan. Kebiasaan ini telah ia jalani sejak ia sangat kecil, dulu ia pergi bersama kakeknya, namun sekarang kakeknya sedang sakit. Ujang masih sabar mencari harapan di jalanan. Di kejauhan ia melihat setitik cahaya yang cukup besar. Ia datangi sumber cahaya itu. Ya, puntung rokok bercahaya itu ternyata masih setia dengan bebatuannya. Betapa herannya ia melihat sebuah puntung rokok yang bercahaya itu. Segera ia singkirkan bebatuan itu, kemudian ia ambil puntung rokok bercahaya itu. Dengan perasaan yang masih terheran – heran dan bingung, ia perhatikan puntung rokok bercahaya itu di tangannya. Cahaya itu merambat pada setiap tubuh Ujang. Hingga apabila ada orang lain yang melihat Ujang sekarang, orang lain akan melihatnya sebagai sebuah malaikat yang tengah membawa sekarung harapan penuh bagi manusia – manusia di muka bumi ini. Ujang masih asyik memerhatikan puntung rokok bercahaya itu, perlahan ia berjalan sambil masih melihat – lihat benda yang ia pegang. Puntung rokok bercahaya itu kemudian ia genggam erat – erat, ia mantapkan hati untuk pulang ke rumah. Menemui kakek yang pasti akan senang jika ia berikan puntung rokok bercahaya itu.
            Keadaan jalanan kota yang kala itu gelap, hanya diterangi oleh lampu jalan yang remang – remang. Kini muncul cahaya putih nan menyilaukan mata sedang berjalan menyusuri trotoar.

           

yang lainnya

Ulasan Novel "Max Havelaar" karya Multatuli

Ulasan Novel "Atheis" karya Achdiat K. Mihardja

Pesona Dirimu