Bandung, Putu Wijaya, dan Teater Mandiri
Arus kehidupan memang tak pernah bisa kita tebak dan
terka – terka sekenanya. Segala nasib juga takdir telah direncanakan sedemikian
rupa oleh Sang Pengatur. Segala tindak – tanduk kita di masa kini pasti akan
memengaruhi nasib kita di masa depan. Kehidupan itu absurd, segala hal bisa
terjadi kapan saja. Keadaan inilah yang tengah saya alami, tatkala saya
ditawari oleh Pak Ari (Dosen Sastra Inggris Unpad) untuk ikut andil dalam acara
“Putu Wijaya : Bertolak Dari Yang Ada” sekaligus menjadi salah satu kru di
Teater Mandiri dalam pentasnya kali ini.
I
Kaget. Itu yang pertama kali saya rasakan ketika menerima
tawaran tersebut. Aih Tuhan, aku akan ikut garapan langsung dengan Teater
Mandiri pimpinan Putu Wijaya ? sebuah mimpi yang tak pernah aku duga
sebelumnya. Belum pernah muncul dalam benakku bahwa aku akan terlibat langsung
dengan pertunjukan Teater Mandiri. Namun, saat ini aku tengah dihadapkan dengan
situasi yang sangat memungkinkan untuk mewujudkan hal tersebut.
Sebenarnya tawaran ini ditujukkan untuk Alfin dan juga
saya, karena sebelumnya Alfin (Sutradara pentas perdana Djati 2019) telah
memesan tiket pertunjukan pada Pak Ari. Tetapi karena situasi yang memaksa dia
tidak bisa meninggalkan aktor serta garapannya di tengah jalan, membuat saya
harus dengan senang hati menerima tawaran berharga tersebut. Singkatnya,
akhirnya aku mengiyakan ajakan dari Pak Ari tersebut.
Udara sejuk saat itu tengah berhembus di sekitaran
bangbir, tempatku nongkrong sembari rapat kecil bersama kawan kawanku. Segelas
kopi hitam lengkap dengan rokoknya, menjadi pemanis bagiku untuk menikmati pagi
menjelang siang di Bangbir sebelah Kansas. Hari Rabu saat itu nampaknya akan
berjalan biasa saja, sama seperi hari – hari melelahkan lainnya. Tiba – tiba
aku mendapatkan pesan singkat dari Pak Ari, kalau kita (aku dan teman – teman
bawaan Pak Ari) harus berangkat ke Bandung sore ini.
Kaget. Kembali kaget. Secara aku belum menyiapkan barang
bawaan, terutama persiapan mental dan lainnya untuk pergi. Akhirnya dengan gelagapan
juga pikiran yang masih kosong, aku memutuskan untuk pulang terlebih dahulu
setelah selesai jam kuliahku. Beruntung, karena pada hari itu mata kuliahku
yang terakhir, berakhir pukul 14.00 WIB. Tanpa basa – basi aku langsung tancap
gas kaki pulang ke rumah setelah kuliah beres.
Sesampainya di rumah, aku langsung menyiapkan segala
barang bawaanku untuk beberapa hari ke depan di Bandung, takut – takut kalau
nanti aku tidak bisa pulang dulu selagi di Bandung. Maka aku membawa 2 kaos, 3
kemeja (2 diantaranya kemeja batik), dan 2 celana jeans, dan 1 celana bahan
katun. Tak lupa juga aku membawa perlengkapan mandi seperti, sabun cuci muka, pelembab wajah,
shampoo lengkap dengan conditionernya. Dengan rasa hati yang masih campur aduk,
antara percaya bahwa aku akan pergi ke Bandung untuk bertemu dengan orang –
orang hebat, aku pamit pada Mamah dan Bapak meminta do’a dan restu dari mereka.
Juga tak lupa aku mengirim pesan Whatsapp pada guru juga sahabatku, Beh Abidin.
Beruntung, sekali lagi aku orang yang beruntung. Aku tak
pernah menduga sebelumnya dapat ikut andil dalam acara semegah ini. Memang
Tuhan selalu punya cara tersendiri untuk menyenangkan hamba-Nya. Setelah
janjian dengan Pak Ari, aku berangkat ke Bandung bersama beliau, naik mobilnya
mantap namun dengan hati yang masih bimbang. Pukul 5 sore, kami telah sampai di
Gedung YPK, Jln. Naripan, Bandung.
Yang pertama kali muncul dalam otakku ketika menginjakkan
kaki di kawasan Gedung YPK adalah bahwa kemudian tempat inilah yang akan
menjadi ruang sejarah bagi hidupku, aku harus memaksimalkan kesempatan ini
untuk menimba ilmu dari orang – orang hebat di sini. Aku kemudian berkenalan
dengan Arya, mahasiswa S2 Pak Ari yang telah lulus. Ia menempuh pendidikan
sarjananya di Sastra Indonesia UPI. Tak lama berselang, Dea dan Esa tiba. Aku
berkenalan dengan Dea, karena aku telah mengenal Esa sebelumnya. Mereka berdua
adalah mahasiswa Unpad yang aktif berteater di GSSTF Unpad.
Saat Maghrib tiba, kami diantarkan menuju penginapan ke
Chez Bon Hostel di Braga. Setelah menyimpan barang bawaan, kami kembali ke YPK
dan bertemu dengan Mas Ari Sumitro juga Kang Aji. Mas Ari adalah salah satu
anak Teater Mandi, sementara Kang Aji adalah orang yang sangat expert
dalam tata lampu, khususnya untuk pertunjukan teater. Setelah berbincang
sebentar mengenalkan diri kami masing – masing, kami kemudian mengikuti arahan
perut yang telah keroncongan sedari tadi. Mencari tempat makan dalam suasana
Bandung yang selalu riuh akan orang – orang, namun tetap asyik untuk ruang
berbincang.
Malamnya, aku, Dea, Esa, dan Arya menyiapkan segala
kepentingan untuk kelancaran acara pembukaan yang dimulai pada hari Jum’at
(1/3) nanti. Kita membuat tata letak kursi duduk yang nyaman untuk penonton
nanti, sementara aku saat itu masih tak tahu apa yang harus aku lakukan. Hanya
ikut – ikutan memberi saran yang barangkali tidak ada manfaatnya sama sekali.
Akhirny muncul sebuah kesimpulan, bahwa kursi duduk akan dibentuk dengan pola 5
– 10 – 5. Kesoktahuan kami mengenai tata letak kursi duduk akhirnya rampung.
Selepas beristirahat di ruang panitia, akhirnya Mas Ari
dan Kang Aji datang juga setelah mereka mengambil lampu dan peralatan lain ke
ISBI. Kita kecuali Arya, mendapat tugas selanjutnya, yakni membantu Mas Ari
untuk memasang lampu – lampu di panggung. Sementara Arya sudah harus pulang
karena kediamannya yang cukup jauh juga suasana malam semakin menghitam tanda
orang – orang tengah lelap tertidur di ranjang mereka.
Gambar 1.1
(Keadaan Gedung YPK sebelum didekorasi)
Aku sendiri masih bingung dan tak tahu apa yang harus
kuperbuat untuk mempermudah kerja Mas Ari dan Kang Aji. Mengerti perlampuan
saja tidak, apalagi lampu yang mereka gunakan ialah lampu jenis LED lengkap
dengan mixernya. Bukan lagi lampu corong murahan dengan mixer minimalis buatan
sendiri. Akhirnya aku memutuskan untuk membantu mereka sebisanya diriku. Mulai
dari membantu membawakan lampu – lampu untuk kemudian dipasangkan oleh Mas Ari.
Setelah itu, kami ikut memasangkan kain layar putih lebar di tengah – tengah
panggung. Pekerjaan kami akhirnya dapat rampung saat adzan shubuh berkumandang,
walau sebetulnya aku, Dea, dan Esa lebih banyak diamnya.
Gambar 1.2
(Lampu LED untuk pertunjukan Teater Mandiri)
Kita bertiga pulang lebih dulu ke penginapan karena mata
tak mampu lagi menahan kantuk yang sedari tadi mengganggu. Jalanan Bandung yang
agak mulai ramai mengantar kami menuju penginapan. Udara sejuk nan dingin cukup
membuat orang menggerakan tangannya memeluk dirinya sendiri. YPK terletak tidak
terlalu jauh dari penginapan kami di Braga, hanya tinggal belok ke kanan sekali
dan berjalan kurang lebih 50 meter, kami telah sampai di penginapan. Tak lupa
suara kicau burung – burung di gedung sebelah kiri jalanan tepat setelah
belokan ke kanan mengantarkan kami untuk pergi menuju alam mimpi.
II
Penginapan yang aku tempati ini sebenarnya cukup nyaman.
Namun, memang mungkin desainnya seperti sebuah asrama membuat perasaanku kurang
nyaman sebenarnya. Karena dalam satu kamar yang aku tempati, mampu menampung 16
orang, dengan tipe kasur ranjang bertingkat persis seperti barak – barak
tentara di film – film. Beruntung pada Kamis pagi yang cukup cerah ini, kamar
ini baru ditempati oleh aku dan Mas Ari saja. Sinar matahari pagi yang menembus
jendela kamar, sejurus menembus pula kedua bola mataku hingga membuatku
terbangun.
Segar, dan bersemangat kuawali pagi ini. Setelah selesai
membersihkan badan, aku mengambil jatah sarapan pagi, yakni 2 buah roti,
secangkir kopi, dan 1 telor ceplok lengkap dengan saus sambalnya. Bagiku, ini
adalah menu sarapan yang istimewa, karena sangat jarang aku bisa menyantap sarapan
dengan menu roti selai. Cukup lama aku memanjakkan perutku dengan sarapan yang
langka ini, kemudian aku bersiap – siap kembali untuk beranjak pergi ke gedung
YPK.
Tentunya jalanan Braga sudah ramai dengan lalu lalang
kendaraan pada pagi ini. Semua orang berebut celah saling menyalip karena
mereka sedang terburu- buru, mungkin. Aku berjalan menyusur jalanan Braga
lengkap dengan pedagang lukisan jalanan, yang menjajakan lukisannya di pinggir
trotoar, membuat suasana Braga semakin meriah dan berwarna. Dan lagi, di ujung
jalan Braga sebelum tikungan ke kiri ke YPK, suara kicau – kicau burung di
gedung tua sebelah kanan (dari arahku berjalan) kembali menyambut awal pagi
hari ini.
Setibanya aku di YPK, aku kembali berkenalan dengan orang
baru. Yakni, Kang Hikmat Gumelar (Koordinator acara), Teh Mona Sylviana (Ketua
Pelaksana), Kang Acep, Kang Taufik Mulyana, Teh Eni, Kang Beni, juga teman –
teman relawan panitia mahasiswa sastra Inggris UIN. Baru saja aku duduk untuk
menikmati secangkir kopi juga rokok, Pak Ari sudah memberiku tugas lagi, aku
disuruhnya belanja alat dan bahan yang diperlukan ke Artland Braga Citiwalk.
Tanpa basa – basi, aku ditemani Dea pergi belanja sembari membeli Kopi Djawa
yang terkenal di Braga itu.
Setelah menyelesaikan tugas itu, aku kemudian bisa untuk
sejenak menikmati sebatang rokok juga kopi hitam bersama dengan Kang Hikmat dan
teman – teman. Kang Hikmat yang juga tulisannya sudah dimuat diberbagai media
cetak, bercerita tentang bagaimana kehidupan Putu Wijaya saat ini juga karya – karya.
Beliau memberitahu bahwa Putu Wijaya saat ini walaupun kondisinya sudah tidak
sesehat dulu, Putu tetap melahirkan karya minimal 2 cerpen, 2 drapen, dan 2 bab
novel tiap harinya, hanya dengan jempol tangan kanannya mengetik di Blackberry.
Sungguh, dedikasi yang sangat luar biasa dari Putu
Wijaya, beliau memang pantas disebut sebagai maestro, sastrawan besar karena
dedikasinya. Karyanya pun tidak jauh dari kehidupan sehari – hari kita, Putu
Wijaya selalu melihat sebuah objek dengan sudut pandang lain, dan ciri khas
lainnya ialah beliau selalu melawan tatanan konvensial yang ada di masyarakat
dengan cara yang elegan dan halus.
Tak terasa, tiba – tiba saja waktu sudah menunjukan pukul
3 sore. Baru saja Kang Acep yang bertugas menjadi pendamping Pak Putu selama di
Bandung memberitahu kami, bahwa Putu Wijaya telah sampai di hotel Ibis. Kami
segenap panitia, dipimpin oleh Kang Hikmat dan The Mona pergi menuju hotel
untuk menyambut kedatangan Putu Wijaya dan rombongan. Setibanya Putu Wijaya di
hotel, kami menyambut hangat kedatangannya, kemudian beliau tanpa basa – basi
langsung meminta kami dan semua rombongannya untuk berkumpul dan berfoto.
”Ayoh, ayoh kita foto dulu semuanya, ayoh.!” Ajak Pak
Putu ramahnya di atas kursi roda.
Setelah pertemuan yang mesra antara kami pihak panitia
dengan rombongan Pak Putu Wijaya, kami kembali lagi ke YPK dengan segenap PR
yang belum kami kerjakan. Aku bersama teman teman tim pertunjukan menyiapkan
kembali gedung sebelum Putu Wijaya bersama Teater Mandiri datang ke gedung.
Aku, Esa, Dea, dan Arya juga teman – teman lainnya menyiapkan tata letak kursi
duduk untuk acara pembukaan esok hari. Setelah semuanya dirasa telah siap, kami
pun beristirahat menyantap nasi box untuk panitia.
Benar saja, tak lama kemudian Putu Wijaya bersama rombongan
Teater Mandiri tiba di YPK. Kami segenap panitia kembali menyambut kedatangan
beliau dan rombongan. Walaupun beliau sudah tak sanggup lagi berdiri sendiri,
dan harus dibantu oleh istri juga anaknya, Bu Dewi dan Taksu Wijaya, Pak Putu
tetap bersemangat untuk melihat keadaan gedung YPK juga panggung.
Singkatnya adzan isya telah berkumandang. Putu Wijaya
dengan sigapnya duduk di atas kursi roda di bawah panggung, siap untuk
menggarap dan latihan bersama Teater Mandiri. Aku menyaksikan momen langka ini dengan duduk di kursi belakang. Adegan
dimulai, dengan Putu Wijaya mengawali adegan dengan dialog,
“Aku ingin makan daging manusia! Aku ingin makan daging
manusia!”
Adegan berlanjut dengan seseorang yang dikejar oleh
banyak orang, hingga seterusnya – dan seterusnya. Saat mereka sedang
beristirahat, aku dipanggil oleh Mas Ari untuk mulai ikut latihan dengan Teater
Mandiri. Tak karuan, semua rasa dalam hati campur aduk, antara senang dan deg –
degan harus ikut latihan langsung digarap oleh Putu Wijaya. Aku bersama Dea,
harus sudah siap – siap di atas panggung untuk menjatuhkan kain layar putih di
tengah – tengah adegan.
Gambar 1.3
(Kain layar putih yang harus aku jatuhkan di tengah adegan)
Satu lagi pengalaman berharga dalam hidupku, ikut latihan
bareng pertama kali dengan Teater Mandiri dan disutradarai langsung oleh Putu Wijaya.
Angka – angka di gawaiku telah menunjukan pukul 01.30, artinya telah memasuki
hari Jum’at, kami semua berkumpul melingkar mendengarkan evaluasi juga arahan
dari Putu Wijaya. Setelah latihan selesai, aku dan teman – teman bersiap untuk
pergi kembali ke penginapan dan beristirahat. Menyiapkan tenaga untuk esok hari
yang akan lebih capek lagi. Kicau burung di gedung sebelah kiri dari jalan
menuju ke penginapan menutup hari yang melelahkan ini. Semoga, esok kan lebih
baik.
III
Aku terbangun karena suara gaduh dari teman – teman
sekamarku. Pagi ini, kamar penginapan telah terisi penuh oleh teman – teman
panitia yang lain. Aku tidak melihat Mas Ari yang di malam sebelumnya sekamar
denganku. Mungkin, ia telah pindah penginapan bersama teman – teman Teater
Mandiri yang lain. Tanpa basa – basi, aku langsung bersiap untuk menuju gedung
YPK kembali, mengawali Jum’at pagi di Bandung dengan roti selai di tangan.
Hari ini (1/3) merupakan hari pertama dari seluruh
rangkaian acara sampai hari Minggu. Sesampainya di YPK, kami merapikan kembali
tata letak kursi duduk untuk acara pembukaan malam nanti. Selepas itu, barulah
aku bisa kembali menikmati secangkir kopi (walau sebenarnya dalam gelas
plastik) dan sebatang rokok. Tak lama, Om Elvis salah satu anak Teater Mandiri
menghampiriku, dan memulai obrolan singkat namun asyik.
Gambar 1.4
(Aku bersama Om Elvis)
Om Elvis ternyata telah ikut dengan Teater Mandiri dan
Putu Wijaya semenjak beliau bersekolah di bangku SMP, tepatnya tahun 1975.
Berarti saat itu TM baru berusia 4 tahun. Ada satu cerita menarik dari Om Elvis
tentang pengalamannya bersama TM. Waktu itu, TM sedang garapan untuk mentas di
Brunai Darussalam. Om Elvis kalau tidak salah kebagian peran juga menjadi
seorang aktor. Beliau pun sudah siap segalanya untuk pergi ke Brunai, paspor
sudah di tangan, latihan berbulan – bulan sudah ia jalani. Namun, kehendak
Tuhan berkata lain. Sehari sebelum berangkat ke Brunai, Om Elvis jatuh sakit
dan tidak memungkinkan untuk ikut pentas di Brunai.
Kecewa tentunya beliau pada keadaan. Sakit yang ia alami
tak memungkinkannya untuk maksa tetap ikut ke Brunai. Om Elvis hanya bisa
berlapang dada sambil menunggu dirinya kembali pulih. Yang menarik dan
mengejutkan justru datang setelah teman – teman dan seniornya di TM kembali ke
tanah air. Mereka tetap member upah untuk Om Elvis walau ia tidak ikut mentas.
“Ini dari Pak Putu, beliau bilang kalau upah ini masih
hak kamu. Jadi terima sajalah.” Begitu kurang lebih ucapan dari temannya saat
memberi upah pada Om Elvis.
Aku lumayan terkejut mendengar cerita tersebut. Ternyata
Putu Wijaya, walau beliau sosok seniman besar, tetapi ia tidak melupakan jasa
seorang remaja (Om Elvis saat itu) walau kecil jasanya. Lagi, satu pengalaman
menarik aku dapatkan dari sini. YPK memang bersahaja, begitu pun orang – orang
di dalamnya saat ini. Aku mempunyai satu pelajaran hidup lagi dari teman
baruku, Om Elvis. Walau beliau bisa dibilang adalah orang paling senior di TM,
namun Om Elvis tetap rendah hati dan terbuka dengan orang – orang baru.
Putu Wijaya yang sejak dari pukul 10 pagi telah berada di
YPK, tengah bersiap untuk latihan kembali sebelum pentas mereka besok. Aku,
Dea, dan Esa ikut latihan lagi bersama teman – teman TM. Latihan hari ini
diawali dengan tensi yang serius dan tinggi. Walaupun aku hanya bertugas
menjatuhkan kain putih saja, tapi tetap saja rasa tegang dan deg – degan takut
salah selalu membayangi pikiran.
Ada satu adegan ketika latihan, di mana Putu Wijaya
memarahi habis – habisan Om Elvis. Ternyata ini gaya menggarap sebenarnya dari
Putu Wijaya, tegas dan lugas. Om Elvis yang memegang kendali tata lampu depan
panggung selalu tidak pas di mata PW dimarahi.
“Elvis! Ini gimana kamu ? yang bener dong nyorot
lampunya, lihat itu gak enak diliatnya!”
“Elvis! Kamu kenapa sih ? Yang bener dong!” perintah sang
sutradara dengan tegas.
Tak hanya Om Elvis, Jais Darga pun selalu kena omel dari
sutradara. Hanya karena Jais selalu salah memegang pisau.
“Jais, megangnya jangan gitu. Tapi kaya gini biar lebih
tegas.” Perintah PW sambil memraktekan caranya.
Walau Putu Wijaya tak langsung ikut adegan dalam latihan,
dan hanya duduk di kursi rodanya, tetapi beliau tetap bisa jeli melihat
kesalahan – kesalahan kecil dalam adegan. Aku yang hanya bisa mendengarkan
setiap omongan dan perintah dari sutradara dalam latihan, tetap saja ikut merasa
bersalah dan tegang. Entah karena apa, padahal aku sendiri pun tidak melakukan
kesalahan, bahkan latihan belum sampai saat aku harus menurunkan kain putih.
Akhirnya setelah semua latihan selesai, kami bertiga
bersama teman – teman TM kembali berkumpul dan melingkar untuk mendengarkan
arahan juga evaluasi dari sutradara Putu Wijaya. Ada salah satu ucapan dari
beliau yang sampai saat ini saya ingat.
“Kalau ada masalah itu coba omongin. Jangan bilang oke
oke aja. Karena kalau kita gak tahu masalahnya, yang saya tahu ya semuanya
harus lancar. Jangan bilang oke, gak ada masalah, tapi saat adegan malah
ngehambat. Sebaliknya, kalo kamu ada masalah terus bilang, kita pun pasti cari
solusinya bareng – bareng biar gak ngehambat nantinya.”
Begitu kira – kira arahan dari Putu Wijaya yang sekaligus
menutup latihan pada hari ini. Akhirnya kami berpisah, aku, Dea, dan Esa harus
kembali ke ruang panitia untuk kembali menerima arahan apa lagi yang harus kami
kerjakan. Karena waktu telah menunjukan pukul 2, artinya tinggal beberapa jam
lagi acara pembukaan akan dimulai.
Singkatnya, aku dan Arya kembali menata tata letak kursi.
Dan mengambil kursi cadangan untuk berjaga – jaga kalau nanti ternyata kursinya
kurang. Akhirnya setelah semua persiapan selesai, para panitia kembali ke
penginapan untuk membersihkan badan dan bersolek, agar penampilan kami rapi saat
acara pembukaan berlangsung.
Aku kembali ke YPK dengan percaya diri, mengenakan kemeja
batik juga celana sarung yang dipinjamkan Pak Ari, dan kain sarung polet hitam
putih catur ala Bali yang dililitkan sampai di bawah lutut. Tak lupa rambut
kugerai panjang, agar harum dari shamponya semerbak dan mewangi. Acara dimulai
dengan para tamu undangan dan orang – orang penting berdatangan. Budayawan,
cendekiawan, seniman – seniman kenamaan hadir dalam acara tersebut.
Jakob Sumarjo, Jeihan, Tisna Sanjaya, Rachman Sobur
adalah sekian nama – nama terkenal yang hadir dalam acara pembukaan. Acara
dibuka dengan sambutan dari ketua pelaksana, Mona Sylviana dan menyanyikan lagu
kebangsaan Indonesia Raya. Kemudian persembahan dari Rachman Sobur (Teater
Payung Hitam) yang menampilkan teaterikal tubuh yang menawan. Setelah itu, ada
orasi budaya dari Tisna Sanjaya yang menggaet seni reak dalam pertunjukan dan
orasinya saat ini.
Rangkaian acara ditutup oleh Closing statement
dari Putu Wijayanya langsung. Dan rangkaian acara dibuka secara resmi oleh
pelukis terkenal, Jeihan. Setelah acara di pembukaan selesai. Para tamu
undangan dipersilakan untuk mencicipi makanan yang telah disediakan oleh panitia,
kemudian tamu undangan diarahkan menuju ke gedung pameran karya lukisan dan
dokumentasi Teater Mandiri.
Alhamdulillah. Semua rangkaian acara pada hari ini telah
selesai dengan segala kekurangannya. Kami, segenap panitia setelah beristirahat
untuk sejenak dan menyantap makan malam, kembali bekerja membersihkan setiap
sampah di YPK, dan mempersiapkan segala hal untuk acara esok hari, yakni
seminar dan pementasan dari Teater Mandiri pada malam harinya.
Namun, aku tidak bisa langsung berdiam diri leha – leha.
Karena harus ikut latihan lagi bareng TM dan Putu Wijaya malam harinya. Dari
pukul 10 malam sampai pukul 1 dinihari, kami latihan terakhir kalinya untuk
mempersiapkan pementasan esok hari. Seperti biasa, latihan ditutup dengan
evaluasi juga arahan dari sang sutradara, Putu Wijaya.
Setelah latihan rampung, dan segala persiapan yang
bersangkutan dengan gedung selesai, aku dan teman – teman panitia tidak bisa
langsung beristirahat. Terutama kami panitia (Tim Pertunjukan) harus menyiapkan
tiket dan membuat QR Code untuk penonton yang telah memesan tiket.
Akhirnya, setelah hari yang panjnag nan melelahkan kami baru bisa kembali ke
penginapan dan bertemu dengan kasur empuk untuk membuai diri dalam mimpi. Lagi
dan lagi, kepulangan kami ke Chez Bon Hostel, disambut oleh kicau – kicau
burung yang memanjakkan telinga di gedung sebelah kiri setelah belokan pertama
ke Jalan Braga.
IV
Hari ini aku bangun lebih awal. Pukul 8 aku telah rapi
dan siap untuk memulai cerita lagi. Aku pergi lebih awal karena harus mengikuti
kuliah seminar terlebih dahulu, kebetulan Ibu Lina Meilinawati menjadi
pembicara dalam seminar “Mengkaji Kreativitas Putu Wijaya”. Akhirnya aku
mengikuti seminar dengan catatan harus bolak – balik ke ruang panitia, jika ada
tugas yang harus dibereskan.
Seminar ini dimoderatori oleh Awang Awaludin (Kaprodi
Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati Bandung), beserta pembicara yang tentunya
punya kwalitas di bidangnya masing – masing. ialah Dr. Asep Salahudin, Putu
Fajar Arcana, Herry Dim, dan tentunya Dr. Lina Meilinawati. Adapun ulasan
bagaimana seminar tersebut berlangsung, juga bahasan apa saja yang dikaji dalam
seminar tersebut ada di (…) yang telah ditulis sebelumnya.
Gedung pameran pun tak ingin ketinggalan, ia menarik daya
minat peserta seminar untuk berkunjung ke pamerannya Putu Wijaya. Selepas acara
seminar selesai, kami panitia tim pertunjukkan, kembali mengubah tata letak
kursi untuk pertunjukkan malam ini. Karena tata letak kursi dari acara
pembukaan sampai seminar menghadap ke sisi sebelah timur (panggung adalah
utara). Sangat melelahkan hari ini, aku bersama Arya dan Kang Feri harus
menambah kursi – kursi hingga genap 290 kursi, sisa 10 kursi untuk cadangan.
YPK hari ini cukup untuk membuat kami mandi keringat. Teman
– teman TM dan Putu Wijaya tengah bersiap – siap untuk pentas mereka malam ini.
Tidak ada latihan hari ini, hanya mencoba beberapa adegan saja sekaligus finishing.
Saat pukul 4 sore, aku yang sedang menyiapkan level dan membungkusnya dengan
kain putih untuk penonton yang nantinya ingin lesehan di depan, disuguhi ritual
atau kebiasaan dari TM sebelum mereka pentas. Sayang, aku tidak bisa ikut andil
dalam ritual tersebut, cukup iri sebenarnya melihat Esa yang tengah berada di
panggung.
Ritual yang dilakukan oleh TM dipimpin langsung oleh Putu
Wijaya, mereka bermeditasi diselingi latihan olah vocal juga, sampai
memfokuskan diri terhadap pentas dan tugasnya masing – masing. Pukul 5 sore,
aku dan Dea sudah bersiap – siap untuk naik ke atap panggung. Dan ketika
gerbang penonton dibuka, aku dan Dea telah berada di atas atap. Berada di atas kurang lebih 2 – 3 jam sebenarnya cukup
gerah juga. selain itu, kita dituntut untuk tetap fokus pada adegan agar timing
saat menurunkan layar putih pas.
Pertunjukan dimulai. Aku diam di sisi depan atap panggung
untuk menikmati suguhan dari teman – teman Teater Mandiri. Tiba – tiba, muncul
seorang kakek tua dibopong oleh anak dan istrinya sedang beradegan. Putu
Wijaya, dengan gemetar langkah kakinya, beliau tetap gigih beradegan seperti
tidak menghiraukan kondisinya saat ini. Dalam naskah “OH” beliau berperan
sebagai orang tua dari pengacara muda. Sangat berbeda sekali saat beliau sedang
menggarap ketika menjadi sutradara. Seorang aktor kawakan yang dedikasinya
sangat tinggi sekali.
Akhirnya bagian yang ditunggu – tunggu olehku pun tiba. Saat
di mana aku harus menjatuhkan layar putih, setelah adegan siluet Taksu Wijaya
diiringi musik latar “Jangan Menangis Indonesia” milik Harry Roesli. Braaakkk!
Kain putih berhasil kujatuhkan dengan lancar, walau sebelumnya sempat tersendat
di bagian tengahnya. Kain putih besar yang menutupi setengah panggung ini
diubah menjadi kanvas untuk seluruh adegan akhir dalam naskah “PEACE” yang
bermain dengan full siluet.
Tepuk tangan riuh mengakhiri pentas pertama pada hari
ini. Syuhhh, melegakkan akhirnya pentas usai juga. Namun, perasaan ini jangan
terlalu besar, karena masih ada hari esok untuk pentas sesi ke dua. Semua penonton
masih meramaikan gedung YPK, karena setelahnya ada sesi foto bersama Putu
Wijaya dan pemain. Putu Wijaya dengan sabar dan telaten meladeni setiap
penonton yang ingin berfoto dengannya sampai penonton bubar. Semua orang, dari
panitia dan teman – teman TM membereskan keadaan gedung, juga memersiapkan
gedung untuk pentas esok hari.
Kami, segenap panitia menutup hari ini dengan mengucapkan
rasa syukur pada Yang Maha Kuasa atas terselenggaranya acara ini. Tak ketinggalan
juga berbagai evaluasi untuk panitia menumpuk. Berharap bahwa esok hari kan
lebih baik dan lebih meriah dari hari sekarang. Setelah kopi hitam menutup
malamku hari ini, aku bersama Kang Hikmat dan teman – teman pulang ke
penginapan. Hari ini Kang Hikmat ikut menginap di penginapan, karena kamarku
yang diisi oleh teman – teman dari UIN sedang kosong. Mereka ada agenda lain
yang tidak bisa ditinggalkan, dan sebenarnya cukup membuat panitia lain cukup kewalahan
karena kurangnya SDM.
Kepulangan kami malam ini, tidak diiringi dengan kicau
burung seperti biasanya. Burung – burung penghuni gedung itu pun seperti tidak
ada, mungkin sedang mengudara ke tempat – tempat lain, atau juga sedang bermain
dengan dinginnya langit malam Bandung. Akhirnya, hanya hening jalanan Braga
diselingi beberapa lalu lalang kendaraan mengantarkanku pada mimpiku malam ini.
V
Minggu pagi di Braga adalah hari di mana turis – turis dan
wisatawan yang berkunjung ke Bandung sedang padatnya. Awal hari ini aku lalui
tanpa diiringi dengan kicau burung di gedung itu. Sesampainya di YPK, kami
tidak banyak kerja pada hari ini. Karena semuanya telah siap sedia dari
semalam.
Aku dan teman – teman panitia akhirnya hanya merampungkan
beberapa hal yang dirasa belum beres. Ohiya, pagi ini pun aku awali dengan
berbincang dengan Om Elvis, di sela – sela latihan TM. Beliau bercerita tentang
bagaimana pengalamannya selama bersama Teater Mandiri dan Putu Wijaya. Hingga
akhirnya menjadi orang kepercayaan Putu Wijaya. Ada satu kisah ketika Om Elvis
akan bekerja dan pergi dari TM. Karena ternyata orang – orang di Teater Mandiri
tidak bisa dipastikan selamanya berada di sana. Untuk mencukupi ekonomi dan
hidup dari teater itu tidak bisa.
“Hidup dari teater ? Tidak bisa, di Indonesia mungkin
tidak bisa. Tapi mungkin di negeri Eropa sana, di mana teater telah dijadikan
sebagai profesi tentunya bisa.” Begitu mungkin ucapan Putu Wijaya jika saya
artikulasikan dalam tulisan.
Om Elvis pun menjelaskan filosofi “Bertolak Dari Yang Ada”
dari Teater Mandiri.
“Bahwa bertolak dari yang ada sebenarnya sangat
sederhana. Kita hanya harus mengerjakan apa saja yang ada di sekitar kita. Jangan
mencari yang tidak ada. Karena yang tidak ada pun berasal dari yang ada. Jadi,
filosofi kita adalah kerja. Karena kerja adalah istirahatku.” Ucap Om Elvis
dengan sungguh – sungguh.
Sepertinya kuliah 2 sks telah aku dapatkan dari
perbincanganku dengan Om Elvis pagi ini. Kami dipisahkan oleh tuntutan tugas
kita masing – masing. Selepas dzuhur, workshop dengan pembicara langsung Putu
Wijaya akan segera dimulai. Awalnya workshop yang seharusnya diadakan pukul 9
pagi ini harus diundur karena keinginan Putu Wijayanya sendiri.
Ternyata, keinginan dari Putu Wijaya mengundurkan
workshop tersebut adalah salah satu akal bulusnya. Beliau ingin melihat apakah
orang – orang rela bersabar untuk menunggu workshop tersebut. Dimulailah
workshop ini, dengan beberapa peserta pilihan, karena tidak dibuka untuk umum. Workshop
dimulai dengan sambutan dari moderator. Ada yang menarik dari jalannya workshop
ini. Yakni Putu Wijaya tidak ingin kalau forum ini hanya membicarakan dirinya
sendiri. Ia ingin semuanya aktif. Sebuah bentuk rasa rendah hati dari seorang
sastrawan yang telah malang melintang di dunia sastra Indonesia.
Beberapa pembahasan dalam workshop ini ialah, bagaimana
kehidupan dari sastra,jurnalisme, dan teater eksperimental pada masa ini. Selain
itu, Putu Wijaya bercerita tentang bagaimana kehidupan sehari – harinya berubah
terbalik setelah beliau terkena stroke pada tahun 2012. Tak lupa beliau pun
membagikan tips dan trik menulis ala Putu Wijaya. Workshop ditutup dengan foto
bersama.
Gambar 1.5
(Foto bersama Putu Wijaya setelah workshop)
Cuaca Bandung sore ini cukup bersahabat, cerah namun
tidak panas. Putu Wijaya tengah duduk dan beristirahat di gedung YPK. Aku yang
mempunyai tujuan lain dalam acara ini, yakni meminta izin dan do’a restu pada
beliau untuk mementaskan naskahnya “Bila Malam Bertambah Malam” padanya
langsung. Aku meminta bantuan pada Om Elvis untuk diantarkan pada Putu Wijaya
yang sedang duduk di kursi rodanya.
Dengan hati yang deg – degan dan pikiran yang campur
aduk, aku diantarkan menuju Pak Putu Wijaya. Beliau bilang,
“Silakan saja kalau mau mementaskan naskah “Bila Malam
Bertambah Malam”.”
Kemudian beliau bertanya,
“Kamu sutradaranya ?”
“Bukan pak, saya hanya mewakili teman – teman dari Teater
Djati untuk izin dan
minta do’a restu pada bapak.” Aku menambahkan,
“Untuk izin resminya mungkin nanti saya kirim lewat email
Pak Putu aja sama Teater
Mandiri ya Pak.”
Beliau kemudian merogoh saku celananya, mungkin ingin
memberitahukan emailnya
Padaku. Namun, segera kujawab dengan,
“Oh sudah Pak, saya udah tahu emailnya tadi kebetulan
saya juga ikut workshopnya.”
“Oh kalau begitu, nanti tinggal kirimkan saja ke email
ya. Nanti saya bilang Oke.”
“Baik Pak, kalau begitu saya pamit.” Kemudian ketika saya
akan beranjak pergi,
“Usahakan naskahnya dibuat lucu ya!.”
Begitulah kira – kira ketika aku meminta izin dan restu
pada Putu Wijaya untuk mementaskan karyanya. Beliau sangat baik dan rendah hati
pada orang – orang. Bahkan sampai member saran padaku, aku pamit dengan senyum
sumringah tanda tak percaya. Pengalaman yang sangat langka, berbicara langsung
dengan Putu Wijaya. Rasanya senang sekali. Semoga Pak Putu tetap sehat ya, Pak.
Penonton telah bersiap di luar gedung, antrian panjang di
hari terakhir pertunjukkan ini menandakan bahwa animo masyarakat untuk menonton
teater sangatlah besar. Mungkin karena nama besar dari Putu Wijaya pula yang
menyebabkan animo sebesar ini. Aku dan Dea telah bersiap di atap panggung untuk
menuntaskan pentas pada hari ini.
Rasanya pertunjukkan pada Minggu malam ini lebih terasa
hidup. Di samping penampilan yang cukup luar biasa dari Taksu Wijaya, juga
totalitas dari Putu Wijaya. Semua energi yang dikeluarkan oleh teman – teman TM
sangat terasa olehku. Serasa semuanya ingin memberikan yang terbaik untuk
penonton.
Sedikit bercerita mengenai pementasan Teater Mandiri kali
ini, mereka mementaskan 4 naskah sekaligus dalam satu pementasan. Yakni, “OH”, “Aduh”,
“Perempuan Sejati”, dan “PEACE”. Semuanya berkesinambungan. Memang untuk
memahami teater eksperimental dari Teater Mandiri cukup sukar. Di samping
ketika menyelami cerpen – cerpen karyanya Putu Wijaya perlu pemikiran yang siap
untuk diobrak – abrik olehnya. Pentas ini secara keseluruhan mempunyai pesan
sebagai berikut.
Dari “Perempuan Sejati” Putu Wijaya ingin mengkritik
kehidupan masyarakat yang cenderung tertutup dan melarang pemikiran yang bebas
dan terbuka. Kemudian melalui “OH”, di mana PW beradu adegan dengan anaknya
langsung bercerita bagaimana sebenarnya pemerintahan hanya baik di luar dan
tetap saja busuk di dalam. Dalam “ADUH” beliau ingin menciptakan situasi di
mana orang – orang yang ingin menolong orang lain kadang kesusahan. Dan dalam “PEACE”
yakni suguhan penuh dengan adegan teaterikal siluet ditunjukkan beberapa simbol
yang merepresentasikan tragedy – tragedy di tanah air. Pertunjukkan ditutup
dengan empat tokoh menyanyikan lagu “Satu Nusa Satu Bangsa”. Sangat kental
dengan keIndonesiaan sebetulnya pentas dari Teater Mandiri kali ini.
Akhirnya seluruh rangkaian acara selesai. Seluruh panitia
bersama Teater Mandiri berdiri bersama – sama atas panggung. Ada rasa haru dan
bangga saat lagu “Padamu Negeri” dikumandangkan, tanda seluruh rangkaian acara
ditutup dan selesai. Pengalaman paling berharga dalam hidupku, terima kasih
Tuhan telah memberikan kesempatan berharga ini padaku. Lebih sedih lagi saat
semuanya saling berpelukan memberikan tanda selamat.
Gambar 1.6
(Aku, Esa, Tiyangsa, dan Pak Ari bersama teman – teman Teater Mandiri)
Gambar 1.7
(Tim Pertunjukan bersama Putu Wijaya dan Bu Dewi, serta Jais Darga)
Aku yang sebelumnya telah merencanakan akan memberikan
hadiah pada Om Elvis dan Mas Ari, memberikan sebuah baju pentas perdana Djati “Laras”.
Keduanya terlihat sangat senang ketika aku berikan oleh – oleh tersebut. Syukurlah,
kalau mereka suka. Tanpa pernah aku duga sebelumnya, ketika aku sedang
membereskan karpet dan kursi – kursi, Om Elvis datang menghampiriku,
“Gen, sini!” Panggilnya sambil membawa jaket hitam yang
sebelumnya beliau pakai.
“Nih!” seraya memberikan jaket itu padaku.
Aku hanya terdiam mematung sambil tak percaya.
“Ini buat apa Om ?”
“Udah sana.” Jawab Om Elvis sambil tersenyum.
Lagi – lagi aku merasa tersanjung dan beruntung. Padahal aku
tak pernah mengharap balasan dari apa yang telah aku beri padanya. Sebuah jaket
hitam polos milik Om Elvis, kini menjadi milikku. Terima kasih Om. Di mana Om
berada, jaket ini akan selalu mengingatkanku akan kebaikan dan wejangan dari Om
Elvis. Semoga Tuhan dan kebaikan bersama Om Elvis.
Pukul 1 malam. Kami segenap panitia berpamitan dengan
teman – teman Teater Mandiri. Sedih dan terharu harus berpisah dengan mereka. Mereka
orang – orang baik, dan sangat terbuka pada orang baru sepertiku. Semoga Teater
Mandiri tetap berjaya. Selamat jalan kawan. Semoga kita bertemu di lain
kesempatan.
Hanya keheningan jalan Braga kali ini mengantarkanku
pulang menuju penginapan. Lelah namun serasa tak ingin semuanya usai. Aku sedih
harus berpisah dengan orang – orang hebat disampingku. Selama kurang lebih 5
hari aku bercengkrama dengan mereka. Di penginapan pun hanya tersisa aku dan
Arya yang ikut menginap di malam terakhir ini. Sebuah senyuman dari bibirku
membawaku tidur.
VI
Deru mesin bus membawaku pulang. Tiap detiknya membuatku
semakin jauh dengan Bandung. Mulai hari ini, aku tak lagi memandang Bandung
sebagai kota metropolitan lengkap dengan hiruk pikuk manusia di dalamnya. Kini,
Bandung bagiku adalah ruang di mana aku pernah bersua dengan orang – orang hebat.
Cerita dan pengalaman berharga bagiku. 6 hari 5 malam yang cukup melelahkan,
tapi tak sebanding dengan pelajaran yang aku bawa pulang. Aku orang yang
beruntung.
Pak Ari, yang telah mengajakku ikut andil dalam acara
besar ini. Om Elvis, orang paling senior di Teater Mandiri, seorang guru dan
bapak yang banyak memberiku wejangan tentang hidup. Mas Ari Sumitro, sosok
rendah hati dan pendiam namun giat kerjanya. Pak Putu Wijaya, semoga selalu sehat
Pak!. Esa, Dea, Nadya, Ghina, Aryo, dan Arya temanku selama di Bandung yang
selalu asyik diajak bicara tentang apapun. Terima kasih, telah sudi menjadi
kisah dalam rangkaian hidupku. Semoga kita semua dapat bertemu kembali di lain
hari.
Aiiihhhh… Sesak dada ini mengantarkanku pulang. Tanpa teman,
tanpa omongan, tanpa harapan, juga tanpa senyuman aku pulang ke kampung
halaman. Air mata menyusur di pipi, sebuah jawaban atas semua yang aku alami. Terima
kasih Bandung!
Gambar 1.8
(Aku (Rudiana Sapta Prayoga))
Gambar 1.9
(Gedung YPK di siang hari)
Tanjungsari, 10 Maret 2019