Langsung ke konten utama

Berkesenian itu TAI, Kalo…. (sebuah otokritik)

 


Barangkali saya adalah orang yang beruntung. Bahkan bisa dibilang sangat beruntung, karena saya hidup di antara orang-orang hebat dalam bidang yang saya sukai, yakni kesenian. Ya, saya beruntung banget, di kampung saya Tanjungsari, banyak lahir seniman-seniman hebat dari berbagai bidang kesenian. Entah dari seni rupa, pahat, teater, tari, sastra dan yang paling kentara adalah musik. Mungkin bagi siapapun yang berkecimpung di dunia musik, khususnta skena Bandung-Jatinangor-dan sekitarnya pasti sudah tahu kalau Tanjungsari itu gudangnya para musisi. Selain itu, geliat kesenian di sini pun dapat dikatakan sangat rame dan kenceng, berbagai bidang kesenian saling mengisi satu sama lain. Dan atmosfer ini sangat patut untuk kita hargai dan banggakan, terutama bagi saya. Gatau sih buat yang lain mah.

Sedikit cerita, cukup banyak kawan-kawan kuliah saya yang kebingungan setelah dia lulus, hasratnya untuk berkeseniannya tidak tersalurkan lagi. Berbagai macam faktor tentu melingkupi hal tersebut. Tapi sekali lagi, saya beruntung, karena ketika saya sudah tidak aktif lagi berkesenian di kampus-kata “berkesenian”nya sengaja saya bikin bold, biar keren-, ketika saya pulang ke kampung halaman, saya masih bisa menyalurkan hasrat serta kebutuhan batin untuk berkesenian.

Tapi akhir-akhir ini saya mengamati ada hal yang lain, yakni ketika kita terlalu nyaman dalam atmosfer yang hangat ini, kadang selalu ada hal-hal kecil yang luput dari pengamatan kita. Saya terkadang bertanya-tanya, untuk apa sih kita berkesenian atau berkarya ? Oke, pasti jawabannya beragam sesuai perspektif masing-masing. Dan itu sah-sah saja. Namun ada satu hal yang agaknya mengganjal di hati saya. Kira-kira begini isi pikiran saya:

“Untuk apa kita berkarya dan berkesenian ? kalo diri kita aja masih belum peka terhadap lingkungan sekitar? Bukankah katanya, berkesenian itu membutuhkan jiwa serta rasa yang peka terhadap realita sekitar kita ? Bukankah katanya berkesenian itu memanusiakan manusia ? Bukankah katanya berkesenian itu untuk mencari ketenangan batin ? Bukankah katanya berkesenian itu untuk mengekspresikan ide serta emosi kita ? Bukankah katanya berkesenian itu harus bermanfaat dan memberikan sumbangsih terhadap lingkungan sekitar ? Bukankah berkesenian itu belajar dari alam dan kehidupan ? Bukankah berkesenian itu tentang memahami perasaan manusia ?” (silakan tambahi bukanah-bukankah yang lain)

Saya garis bawahi terlebih dahulu, maksud saya di sini, saya tidak akan menyinggung tentang para seniman yang bergerak di jalan rakyat, buruh dan tani. Karena memang berkesenian harus seperti itu dan itulah nilai baik dari kesenian. Tapi yang akan saya bahas dalam tulisan ini terlepas dari latar belakang itu semua. Entah kita berkesenian karena mau aja, atau karena menyuarakan suara rakyat (suara diri sendiri, karena kita juga bagian dari rakyat), atau karena ingin dianggap keren saja. Ini terlepas dari itu semua. Yang ingin saya bicarakan adalah lebih pada sisi personal yang lahir dari pemikiran diri saya,

“Untuk apa kita berkesenian kalo masih gak bisa peka sama lingkungan sekitar ? Ya, untuk apa ? Kalo kita masih berlaku seenaknya sama temen sendiri ?-kata “temen” di sini maksudnya adalah temen yang juga berkecimpung dalam dunia kesenian. Untuk apa, kalo kita masih mengganggu privasi temen sendiri ? Untuk apa, kalo kita gak bisa peka sama perasaan temen sendiri ? Untuk apa kalo kita seenaknya sama temen sendiri ? Untuk apa, kalo kita gak bisa ngasih ketenangan batin buat temen sendiri ? Padahal ketenangan itu yang kita-kita cari dari berkesenian bukan ? Ataukah kalian berkesenian hanya untuk keren-kerenan saja ? saya harap sih enggak! Coba deh kita becermin sejenak, lalu bengkokkan jari telunjuk kita ke hidung sendiri, Nah itulah kambing hitam yang patut untuk disalahkan.”

“Persetanlah berkesenian! kalo kita masih didasari dengan perilaku yang kaya binatang. Seenaknya, sebebasnya, dan semaunya. Loh, bukankah seharusnya kebebasan itu justru melahirkan keterbatasan ya ? Karena adanya saling tenggang rasa satu sama lain ? Loh, bukankah seenaknya itu seharusnya menciptakan ruang yang baik yaa? Yang isinya saling mengerti satu sama lain. Loh, bukaknkah semaunya itu seharusnya bisa menjadi penekan rasa ego kita ya ?”.

Jadi, saya akan balik lagi pada pertanyaan-yang mungkin tidak akan pernah selesai- ngapain sih kita berkesnian itu ? karena menurut saya, berkesenian itu TAI kalo kita masih kaya TAI. Ya bebas sih, mau jadi tai pun gapapa asal punya nilai mah, justru keren. Toh tai juga punya perannya sendiri kok. Dia rela disebut objek yang kotor dan menjijikan, tapi nerima-nerima aja ahh, gak pernah ngerasa tersinggung. Bahkan dia gak pernah seenaknya sama kita, lempeng aja tai mah hidupnya teh, begitu dilahirkan ya udah lurus aja, langsung fokus sama kodratnya. Lahir-masuk kloset-disiram-dan berenang deh menentukan arah nasibnya sendiri, Dia aja bisa menghargai kita sebagai manusia tuh. Masa kita kalah sama tai. Loh gimana sih, katanya berkesenian itu tai kalo blablablabla ? tapi di satu sisi saya malah nulis kalo tai itu punya nilai. Gimana sih ahh? Kontradiktif banget tulisannya. Ya udah pikirin aja sendiri sama khalayak pembaca deh soal itu mah. Terserah mau gimana menafsirkannya.

Saya yakin mungkin tulisan ini bakal melahirkan respon yang berbeda-beda. Bahkan mungkin bakal sangat tidak disetujui oleh khalayak pembaca. Mungkin juga saya bakal digunjingkan atau dighibahin karena tulisan saya ini. Tapi ya silakan aja, akan saya terima seikhlas-ikhlasnya. Serius deh, suerrr. Dan saya gaakan jadi memusuhi kawan-kawan seniman saya di sini, di kampung saya, tanah yang indah dan berseri. Niat saya bikin tulisan ini mah cuman satu; ngekritik diri saya sendiri. Udah itu aja kok. Gak lebih.

Akhir kata, ya semoga kita masih tetap konsisten dan sehat-sehat saja dalam menciptakan atmosfer berkesenian yang baik yaa. Dan semoga khalayak pembaca pun dapat mengambil yang baiknya aja dari tulisan ini, walaupun cuman dikit banget sih. Dan terakhir, makasih udah mau baca sampe abis ya. Ini mah cuman ngritik diri sendiri kok, gak maksud yang lain. Sehat-sehat ya semuanya.

yang lainnya

Ulasan Novel "Max Havelaar" karya Multatuli