Langsung ke konten utama

Seni Berjarak dari Yang Nyata



Suatu sore saya ngopi di warung pinggir lapangan bola. Tanpa ada kepentingan apa-apa, saya cuma ingin ngopi. Cuma pengen bersantai aja lah gituloh. Suasana di sekitaran pun tampak biasa-biasa saja, anak-anak baru pulang mengaji dari masjid, ibu-ibu sedang melakukan ritual pergunjingannya, dan para remaja juga sedang asyik nongkrong. Tiba-tiba di kejauhan, saya melihat seorang kakek penjual gelembung sabun. Ia berjualan menggunakan sepeda ijo tuanya. Anehnya ia tetap berjalan kaki dan menggandeng sepedanya. Kakek penjual sabun ini sudah ada sejak saya masih duduk di bangku SD. Sedikit cerita, selain berjualan gelembung sabun, ia juga menjual ikan cupang. Kalo dihitung-hitung, hampir lebih dari sepuluh tahun mungkin kakek ini berjualan gelembung sabun. Sepertinya beliau memang mengabdikan dirinya untuk menyediakan barang dagangan khusus anak-anak. Sebuah pengabdian yang tentu tidak mudah.

Beliau berjalan kaki dengan kedua tangan menuntun stang sepedanya. Ia tetap berjalan dari ujung lapang sebelah sana hingga ke sebelah sini-tempat saya ngopi di warung. Tidak ada yang membeli dagangannya, tapi beliau tetap menunggu dan khusyuk berjalan saja. Hingga satu ketika, pikiran saya malah berkecamuk dalam pertanyaan-pertanyaan. Muncul bayangan di kepala saya, yang membayangkan kakek tersebut sedang menuntun sepedanya di sebuah panggung pertunjukkan teater. Beliau cuma berjalan dari panggung wing kanan ke kiri, setelah itu hilang. Dalam sekelebat bayangan itu, sosok kakek penjual sabun menjadi punya nilai “artistiknya” sendiri. Ya, sepertinya sosok yang biasa saja dalam realita kehidupan akan menjadi sangat bernilai seni jika kita menontonnya dalam sebuah pertunjukkan. Kemudian lahirlah pertanyaan, bagaimana bisa hal tersebut terjadi ? Akhirnya pikiran saya sibuk mencari-cari jawaban mengenai pertanyaan itu.

Suatu objek yang biasa/awam dalam realita kehidupan, akan mempunyai nilai artistik ketika objek tersebut dialihtempatkan pada sebuah panggung pertunjukkan. Tanpa mengubah sedikit pun elemen-elemen dari objek yang biasa tersebut. Seperti misalnya, kakek penjual gelembung sabun tadi yang kemudian dialihtempatkan pada sebuah panggung tanpa “mengurangi atau menambahi”setiap komponen yang ada di diri kakek tersebut. Atau ketika seseorang sedang mencuci motor, mungkin jika dilihat pada realita kehidupan sehari-hari bakal terasa biasa saja. Tapi coba alihtempatkan si orang yang mencuci motor itu ke panggung pertunjukkan. Pasti bakal punya rasa yang berbeda dan mempunyai nilai artistiknya sendiri. Nah mengapa bisa demikian ?

Jawaban masih saja bersembunyi entah di mana. Saya sibuk mencari-cari bahan bacaan, tapi tetap tidak menemukan jawaban yang memuaskan. Hingga seorang teman menanyakan hal yang sama pada saya-padahal saya tahu dia tuh udah punya jawabannya. Jawaban teman saya ini ternyata bisa membasuh dahaga akan jawaban dalam diri saya. Kurang lebih begini katanya, ketika semua orang bersepakat bahwa “panggung”itu adalah medium yang menciptakan jarak bagi yang nyata dengan mereka, maka yang terjadi adalah penonton teralinease dari kenyataan. Ketika penonton berjarak dari kenyataan, maka objek biasa apapun akan bernilai seni karena penonton bisa memerhatikannya secara mendalam dan menyeluruh. Terima kasih kawan atas jawabannya, kawan. Akhirnya saya bisa sampai pada kesimpulan dari pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu pikiran saya tiap malam hari.

Ya, lagi-lagi penonton adalah elemen yang penting dalam pertunjukkan. Pemahaman seperti ini mungkin sudah sejak lama ditemukan, dan ini bukanlah yang baru. Dan saya pikir, hal semacam ini berlaku bagi seluruh cabang seni. Karena seni apapun membutuhkan penonton atau apresiator. Dari sini, saya berkesimpulan bahwa seni itu adalah berjarak dari yang nyata. Karena ketika berjarak dari kehidupan, kita bisa dapat mengamati kehidupan tersebut secara detail dan menyeluruh. Contohnya saja, ketika kita membuat lagu atau tulisan yang bersumber dari pengalaman pahit di masa lampau. Pikiran serta akal pasti kita fokuskan terhadap apa-apa saja yang dirasakan pada saat pengalaman pahit itu terjadi. Dari sini bisa disimpulkan bahwa kita sedang “menonton” dan “merasakan” pengalaman pahit itu di masa kini. Walaupun semuanya terjadi di alam ide. Inilah yang saya sebut seni berjarak dari yang nyata.

Atau sama halnya ketika kita sedang duduk di pinggir pantai di sore hari, dan tetiba saja ingin menulis puisi tentang matahari terbenam saat itu. Mata serta pikiran kita langsung mengobservasi suasana serta fenomena yang terjadi, kita sedang mengambil jarak dari kenyataan sehingga tampak seluk beluk keindahan dari matahari terbenam dengan segala perintilannya. Konsep seperti ini berlaku dalam kegiatan menonton seni pertunjukkan. Penonton pada akhirnya dapat menangkap apa saja yang detail dan menyeleruh dari peristiwa yang disuguhkan di panggung. Keadaan mengamati seperti ini pun sudah mempunyai nilai seni, yakni dengan disengaja atau tidak, kita sudah berjarak dari kehidupan yang asli. Lantas, kehidupan yang asli itu yang mana ?


yang lainnya

Ulasan Novel "Max Havelaar" karya Multatuli

Ulasan Novel "Atheis" karya Achdiat K. Mihardja

Pesona Dirimu