Langsung ke konten utama

Kenistaan menjemput Ajalku


Aku tengah terduduk dibangku taman nan merdu
Sekilas hari ini nampak kan indah adanya
Siang itu cerah benar
Langit tak berawan biru laut syahdu rasanya
Kicau - kicau burung mesra pada telingaku

Namun...
Keindahan memang tak lagi abadi, dan seketika membias menjadi hitam bagiku

Tragedi datang bertamu padaku
Tatkala seorang lelaki hitam kecil nan loyo menghampiriku
Sampai sini, curiga pun tak pernah ada

Tetapi kemudian,
"Hey nona! Cantik kali kau punya tubuh!" Risih rasaku menjadi - jadi 
"Ahoyy, sikap acuhmu begitu manis kalahkan madu" sambil ia rapatkan tubuhnya padaku

Aku bertambah risih jelas, kucoba menghindar sedikit walau sedetik jarakpun tidak

"Sayang, ayo sini sayang jangan takut!" kini tangannya tak lagi sopan telah membelai pahaku Kemudian aku terperanjat dan kucoba kabur menjauh

Nahas, kini kata kabur bagiku telah tiada
Dengan segera tangan itu menahan tanganku langsung dicekik leherku, dibekap mulutku, dipeluknya erat - erat agar tak mudah lepas,

Lantas dibawanya aku ke sebuah gubuk reyot saksi bisu orang - orang nista pada Tuhannya
Perkiraanku runtuh jelas, lelaki krempeng itu nyatanya kuat sekali

Aku tak bisa melawan, aku tak bisa bertolong - tolong, tak bisa dayaku menghentak laki - laki lacur itu. Berdegup - degup jantungku
Mengalir deras darahku
Keras - keraskan tubuhku
Tinju kutinjukan tanganku
Tendang - tendangku padanya
Tapi dia terlalu gagah untuk dibikin kalah oleh perempuan sepertiku

Pembungkus tubuhku kemudian dilucutinya layaknya binatang buas bermesraan dengan mangsanya
Air mataku kini tengah bersiap menyemburkan air kenistaan
Tak tahan aku dipaksa, dipaksa, dipaksa - paksa menikmati kekejian ini

Buasnya ia menggerilya tubuhku
Dari kaki ke kepala, dari kepala ke kaki, dari atas sampai bawah, dari bawah sampai atas, lidahnya bermanja - manja sekenanya

"Mantapnian tubuhmu ini cantik!"
"Anjiiing kau! Bangsaat!" rintihku mencoba melawan
"Sebentar lagi kau yang Anjing bin Bangsat, sayang!" Seringai matanya membuatku takut sepenuh mati

Perlawananku hanya sia - sia saja rasanya
Lelaki nista itu kini tengah bersiap menularkan kebangsatannya padaku

"Tuhan, dimana kau kini?" rintih suara sukmaku pada-Mu

Sebentar lagi, dan hanya sebentar lagi
Dan hanya beberapa detik lagi, dan hanya beberapa detak lagi
Kehormatanku dirampas lelaki biadab

Dan... (Sebuah ekspresi pedih tak tertuangkan dalam kata)
Aaaarrrgghhh!!!...

Aku menjadi lacur
Menjadi binatang jalang
Menjadi Dolly
Menjadi - jadi diriku kotor

Mematung tubuhku dinikmati lelaki itu
Bangsat memang kaum lelaki penyembah nafsu
Hewaniah tak ada bedanya dengan lelaki

Air - air kini bukan lagi berlinang - linangan dimataku
Bergenang - genangan kini air mata penghabisanku dimata airku

"Apa hah! Enak kan kupunya barang  ini hahh?!" Setan alas menampar wajahku
Ia bukan setan dari api, tapi dari api yang berapi - api seapi - apinya
"Allahu Akbar, allahu akbar, allahu akbar" masih sempatnya bibir ini mengucap pada-Mu

Kemudian...
Entah dari mana munculnya, namun
Seketika bayangan kampung asalku terpampang nyata
Ibuku sedang merajut kain sembari tersenyum bangga mengenang ia punya gadis lulusan kedokteran tak lama lagi
Sedang bapakku,
Tengah tenang dalam sunyi merdu dihadapan sang Khalik
Pohon pisang dekat rumah takkan lagi bisa kunikmati hasilnya
Jelas nyata kampungku tenang dan damai
Sampai jumpa Bu,
Sampai jumpa Pak sebentar lagi,
Kampungku, rawat baik - baik Ibuku!

Kering makin kering rasanya gersang mataku kini
Sebab telah habis air mata suciku direnggut lelaki sialan itu!

Tubuhku bergetar hebat tanda kenistaanku semakin kuat
tatkala lelaki itu telah sampai pada tujuannya

Aku terkulai lemas tak bergerak,
Mataku kosong melolong tak menatap
Bibirku kering tak bersuara
Kaku sekujur tubuhku
Darah sedikit demi sedikit, setetes demi setetes menetes membasahi selangkanganku
Dalam hal ini, aku tak lagi merasa sebagai manusia seutuhnya
Hina diriku dihadapan semuanya

"Dasar kau wanita lemah! Puihhh, kukira tubuhmu mantap melebihi biniku nyatanya jauh benar setelah kugauli, tapi selangkanganmu ada lebih sedikit dari bini kupunya!" Pantas ku dikata - katainya begitu, kini aku telah resmi menjadi Anjing hina lebih dari anjing liar sekalipun

Kukira, penderitaanku hanya sebatas ini saja
Tapi kemudian lelaki itu membawa sebuah cangkul dan mendekat
Tubuhku masih tak bisa kurasai
Kaku...

Aku masih dalam keadaan layaknya bayi bugil benar
Tak sehelai benangpun melekat pada ragaku
Lelaki itu mengangkat - ngangkat, mengarah - arahkan cangkulnya, dan lantas ia binasakan gagang cangkul itu dalam kemalua....nku
Masih tak cukup, ia tendang - tendang cangkul itu sampai menusuk dalam dadaku,
Merobek hati, memutus ususku, memecah paru - paruku

"Aaaaaaaggghhh!" (Beribu sakit tak berujung)
Seketika langit kan menghantam ragaku,
"Tuhan! Aku malu kan mengahadap-Mu!"
"Sakiiiiiiiiittttt!" (lengkingan panjang melengking terus sampai mati)
Aku pergi menghadap Ilahi, nista ajalku disisi-Mu

Senin, 30 Juli 2018
Puisi ini aku persembahkan untuk alm.  Eno Parinah yakni korban pemerkosaan sadis bercangkul oleh tiga lelaki biadab.

yang lainnya

Ulasan Novel "Max Havelaar" karya Multatuli