Langsung ke konten utama

Surat Untuk Kina



Surat Untuk Kina
Kau masih selalu ada dalam setiap hembus angin malam ketika aku tengah duduk di bangku taman ini. Kini segalanya buram bagiku, untaian benang kenangan yang dulu kita susun bersama telah kau gunting seenaknya. Malam di kotaku sekarang, bukan lagi malam dengan hangat tubuhmu, dengan hembus nafasmu saat kita tengah berbaring berdua setelah kau uhujamkan tanda kasih dan cintamu padaku.
Saat itu, ya saat itu kau begitu eloknya dalam mataku. Tubuhmu dengan manja menggeliat dalam mataku, indah lekuk punggung sampai pinggulmu, hingga tak lagi ada hasrat lain pada diriku selain untuk terus menjamah tiap lekuk tubuhmu. Itu dulu, dan sekarang aku hannya bisa mendekapmu, menciummu dari jauh. Kemudian indah rasanya, saat kita tengah asyik membicarakan tentang siapa nama anak kita nanti. Dan ini yang selalu menjadi kesukaanmu, kau selalu mempunyai bendahara nama yang bagus untuk anak kita nanti,  dari mulai Radiva, Pradipa, Mavendra, sampai Nia pradipta pernah kau cetuskan setelah nama – nama yang lain kau sebut.
Asap rokok yang kuhembuskan kini, seakan selalu membawa alam pikirku pada indahnya matamu. Dan kini, aku sedang duduk di bangku taman kita dulu. Bangku taman dengan segala hangatnya tubuhmu. Tapi hangat tubuhmu kini telah direnggut oleh orang lain. Kau bukan kepunyaanku lagi. Dan bagiku kini, semenjak kita harus berjauhan dipisahkan oleh jarak, kecintaanmu sudah bukan lagi untukku.
Kina, dalam setiap langkahku kini, tak ada lagi harapan menemaninnya. Segala kerinduanku kini hanguslah sudah entah kemana harus ku sandarkan. Aku masih ingat ketika bibir manismu melumat bibirku saat kita akan terpisah oleh jarak,
“Irgi, aku hanya minta kamu jangan main-main ketika aku jauh dari kamu!” pintamu dengan manjanya sembari memeluk dadaku. Sayang, Kina, aku bagaimana bisa aku bermain-main dengan perempuan lain. Sementara Kau ibarat ratu yang diperebutkan oleh semua raja-raja muda. Dan aku hanya seorang pria dari kalangan rakyat yang mempunyai keberuntungan lebih untuk bisa bersamamu.
Walaupun ibumu selalu saja menilai bahwa aku tidak punya apa-apa selain tekad yang kuat untuk nanti mempersuntingmu. Satu hal yang selalu ditentang oleh keluargamu dan temanmu adalah mereka seakan tidak sudi kau dipunyai lelaki yang tak tentu hidupnya. Secara kamu bagaikan seorang dewi dari negeri kayangan dengan segala anugerah yang telah dewa tancapkan pada dirimu.
Jarak, dan lagi jarak yang akhirnya menjawab semua kisah percintaan kita setelah tiga tahun lamanya. Kau yang menggebu untuk menimba ilmu ke kota B, kau juga yang selalu kecewa ketika impianmu itu terkadang menemui duri tajam, kau juga yang berjanji tidak akan pernah lupa pada keluargamu disini, tetapi semua itu mungkin kini ibarat daun kering yang jatuh dan tak bisa lagi kembali pada pohonnya.
Aku selalu mencintamu lebih dari apa yang aku kira. Harapku kau disana akan tetap baik – baik saja, harapku kau disana bisa nyaman dengan keluarga barumu, atau dengan lelaki barumu yang bisa kau ajak berdiskusi tentang siapa nama anakmu nanti. Harapku, kau tak akan pernah lupa padaku.
Harapku,
Kau bahagia Kina…
Dari Irgi Akmanegara

yang lainnya

Ulasan Novel "Max Havelaar" karya Multatuli