“Menjeritlah, menjeritlah selagi masih bisa”
begitu kata Bung Iwan Fals. Akhirnya aku pun menjerit sekeras – kerasnya,
hingga menembus langit, teriakkanku
terbang menembus angkasa pergi mencari tempat untuk ditabraki. Aku
merasa sudah penat dengan segala hal menaungi diriku akhir – akhir ini. Aku
muak dengan skenario cerita yang Tuhan berikan untukku. Segala kerundungan seakan senang sekali
hinggap di dahan pohon kehidupanku. Aku sedang berada pada titik dimana segala
yang ada di hadapanku adalah kemurkaan untuk diriku sendiri. Aku kesal dengan
nasib orang tuaku sendiri. Ayahku seorang preman sekaligus pemalak pedagang –
pedagang kecil di pasar, tentunya ia juga seorang pemabuk berat. Tiap pagi ia
pulang sebelum adzan shubuh dengan keadaan setengah waras, sehingga insiden
piring terbang di rumahku menjadi santapan manis bagi diriku hampir tiap pagi.
Sedangkan Ibuku ialah perempuan
kuat. Aku menyayanginya, aku cinta padanya, ia adalah manusia satu – satunya
yang aku percaya di bumi ini. Pernah suatu ketika Ibuku menasihatiku,
“Nak,
kamu itu harus belajar sabar dan menerima segala yang telah kamu usahakan.
Tuhan tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya yang takwa.”
Saat itu aku hanya mengangguk diam
saja dan memercayai apa yang Ibu katakan. Nasihat ibuku itulah yang menjadi
pegangan hidupku hingga 10 tahun lamanya. Sampai akhirnya aku sampai pada hari
dimana aku tidak memercayai lagi bahwa Tuhan menyayangi diriku. Aku muak dengan
segala do’a yang aku panjatkan tiap sujudku pada-Nya. Nyatanya, tidak pernah ada
satu pun do’aku menjadi kenyataan. Aku putus asa ketika Ibu meninggalkanku
seorang diri di bumi yang sangat kejam ini. Aku tidak tahu harus kemana lagi
untuk pulang. Pulang pada Tuhan ? capek aku dibuatnya menunggu terus menerus
tanpa tahu kapan harapan aku akan terlaksana.
Saat Ibuku meninggal, aku seakan
ditindih oleh langit juga tanah sangat kuat. Aku merasa tidak ada artinya lagi
untuk hidup. Hidup tanpa tujuan bagai hujan tanpa air. Hingga aku sampai pada
pemahaman bahwa sedalam apapun aku bersyukur dan berdo’a juga berusaha, aku
tidak pernah sampai pada hakikat keberhasilan. Satu hal yang aku bisa lakukan
saat ini ialah hanya menjerit. Ya , menjerit, persis seperti apa yang dikatakan
oleh Iwan Fals dalam lagunya. Aku menjerit terus menjerit semenjerit – jeritnya
sampai suaraku tidak ada lagi, sampai nafasku habis, sampai penglihatanku
gelap, sampai suara dalam telingaku tidak dapat kudengar. Sampai... jiwaku
lepas dari ragaku.