Langsung ke konten utama

Aku menjerit pada titik kehampaan


Gambar terkait


Menjeritlah, menjeritlah selagi masih bisa” begitu kata Bung Iwan Fals. Akhirnya aku pun menjerit sekeras – kerasnya, hingga menembus langit, teriakkanku  terbang menembus angkasa pergi mencari tempat untuk ditabraki. Aku merasa sudah penat dengan segala hal menaungi diriku akhir – akhir ini. Aku muak dengan skenario cerita yang Tuhan berikan untukku.  Segala kerundungan seakan senang sekali hinggap di dahan pohon kehidupanku. Aku sedang berada pada titik dimana segala yang ada di hadapanku adalah kemurkaan untuk diriku sendiri. Aku kesal dengan nasib orang tuaku sendiri. Ayahku seorang preman sekaligus pemalak pedagang – pedagang kecil di pasar, tentunya ia juga seorang pemabuk berat. Tiap pagi ia pulang sebelum adzan shubuh dengan keadaan setengah waras, sehingga insiden piring terbang di rumahku menjadi santapan manis bagi diriku hampir tiap pagi.
            Sedangkan Ibuku ialah perempuan kuat. Aku menyayanginya, aku cinta padanya, ia adalah manusia satu – satunya yang aku percaya di bumi ini. Pernah suatu ketika Ibuku menasihatiku,
“Nak, kamu itu harus belajar sabar dan menerima segala yang telah kamu usahakan. Tuhan tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya yang takwa.”
            Saat itu aku hanya mengangguk diam saja dan memercayai apa yang Ibu katakan. Nasihat ibuku itulah yang menjadi pegangan hidupku hingga 10 tahun lamanya. Sampai akhirnya aku sampai pada hari dimana aku tidak memercayai lagi bahwa Tuhan menyayangi diriku. Aku muak dengan segala do’a yang aku panjatkan tiap sujudku pada-Nya. Nyatanya, tidak pernah ada satu pun do’aku menjadi kenyataan. Aku putus asa ketika Ibu meninggalkanku seorang diri di bumi yang sangat kejam ini. Aku tidak tahu harus kemana lagi untuk pulang. Pulang pada Tuhan ? capek aku dibuatnya menunggu terus menerus tanpa tahu kapan harapan aku akan terlaksana.
            Saat Ibuku meninggal, aku seakan ditindih oleh langit juga tanah sangat kuat. Aku merasa tidak ada artinya lagi untuk hidup. Hidup tanpa tujuan bagai hujan tanpa air. Hingga aku sampai pada pemahaman bahwa sedalam apapun aku bersyukur dan berdo’a juga berusaha, aku tidak pernah sampai pada hakikat keberhasilan. Satu hal yang aku bisa lakukan saat ini ialah hanya menjerit. Ya , menjerit, persis seperti apa yang dikatakan oleh Iwan Fals dalam lagunya. Aku menjerit terus menjerit semenjerit – jeritnya sampai suaraku tidak ada lagi, sampai nafasku habis, sampai penglihatanku gelap, sampai suara dalam telingaku tidak dapat kudengar. Sampai... jiwaku lepas dari ragaku.

yang lainnya

Ulasan Novel "Max Havelaar" karya Multatuli